11 December 2008

[cerpen] Cemburu yang Menyulut Semangat

Ketika engkau bertanya kepadaku, “seberapa besar rasa cintaku kepadamu?”

Aku mengarahkan telunjukku ke arah monas

Monumen yang tinggi menjulang meninju awan

Kokoh tak tergoyahkan

Sebuah jawaban yang tidak perlu lagi dipertanyakan…

 

 

***

 

Senja berwarna kemerah-merahan, hangat. Semilir angin meniup mesra, menggoda dua insan yang sedang duduk berdua di kursi batu taman Monumen Nasional. Kijang-kijang yang dipelihara di taman itu sudah kelelahan, beberapa dari mereka sedang asyik berbaringan, mengunyah ulang simpanan makanannya; burung-burung sudah menghentikan kicauannya; sesekali terdengar suara gesekan sapu petugas kebersihan dengan rumput taman, memisahkan daun-daun kering dan sampah yang dibuang sembarangan para pengunjung dari hijaunya rumput yang tumbuh subur mengelilingi monumen yang dibangun diatas tanah seluas delapan puluh hektar di pusat kota Jakarta.

 

Tugu yang dibangun untuk mengenang semangat perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda, telah beralih fungsi, kini ia telah menjadi arena pemuda-pemudi yang sedang asyik memadu cinta. Ramai pasangan-pasangan asyik berdua-duaan. Salah satu diantara pasangan-pasangan tersebut adalah Joko dan Lilis.

 

“Mas, kamu bisa kan tetap setia sama adik?”, wanita berkulit kuning langsat itu berkata memecahkan keheningan antara mereka berdua. Lesung pipit yang ia punya, menambah manis wajahnya, putih, khas wanita sunda.

 

Lelaki berperawakan kekar, berkulit sawo matang dengan garis pipi yang jelas menonjol, menoleh kepadanya, ia mengalihkan pandangannya dari monumen berbentuk batu obelik berbentuk lingga yoni setinggi 137 meter yang terbuat dari batu marmar. Alu dan lumbung yang menyimbolkan kesuburan. Ia tersenyum lebar.

 

“Tentu saja, mas akan selalu cinta sama kamu”, lelaki yang berasal dari Brebes itu menyeringaikan senyumnya.

 

“Kita mungkin akan jarang ketemuan mas, sekarang kerjaan Lilis jauh, di Pondok Indah, majikan Lilis ganti, Yayasan memindahkan Lilis ke sana, sedang mas kerjanya kan di Kemayoran”, sang gadis menggoyang-goyangkan kakinya, motif bunga sakura berwarna merah muda yang tergambar di rok panjangnya terkesan nyaris berjatuhan ke tanah. Wajahnya merengut.

 

Joko menghela nafas panjang.

 

Lilis dan Joko bertemu di taman ini pula, setahun yang lalu. Perkenalan ringan yang berujung keseriusan dalam menjalin hubungan.

 

Joko merantau dari kota kelahirannya di Brebes, mencoba peruntungan yang ia punya di bawah bayang-bayang kilau gemerlapan kota megapolitan. Ia ditawari Udin, teman baiknya yang sudah terlebih dahulu di Jakarta, lahan pertanian warisan orangtua Joko tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang selalu merangkak naik, ia pun tertarik ikut. Ia pernah bekerja sebagai kuli bangunan, buruh pabrik, sehingga akhirnya dia mendapatkan profesi sebagai salah seorang pekerja di toko material bahan bangunan.

 

Sedang Lilis berasal dari Ciawi, ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sudah dua tahun ia berada di Jakarta, begitu lulus SMA dia hijrah ke Jakarta, membantu ibunya yang janda membiayai sekolah tiga orang adiknya.

 

“Tentu Lis, mas akan tetap setia sama kamu”, pemuda itu mengangguk mantap.

 

Lilis tersenyum, menikmati segarnya udara sore hari Jakarta. Atmosfir cinta penuh mengisi udara tempat mereka menghirupkan nafas.

 

***

 

Sudah hampir tiga bulan Lilis menempati rumah majikan barunya, dan semenjak itu pula, komunikasi antar mereka menjadi renggang. Mungkin dia sedang dalam tahap adaptasi dengan lingkungan kerja barunya, begitu batin Joko menenangkan.

 

Jika bukan Joko yang memulai mengirimkan SMS atau menelpon terlebih dahulu, dapat dipastikan bahwa dalam satu bulan, tidak akan ada komunikasi denganLilis.

 

Adakah yang berubah dengan dirinya?”, batinnya coba menerka.

 

***

 

Majikan barunya ternyata seorang bule. Pria yang berasal dari Inggris, berkulit putih, bermata biru, berambut pirang, dan tinggi semampai. Seorang eksekutif muda. Lajang.

 

Pa Mike Sawyner, majikan barunya memanggil seorang guru bahasa Inggris pribadi bagi Lilis, agar komunikasi mereka saling nyambung. Lambat laun, Lilis sudah mahir berbahasa Inggris, terutama karena Mike sering mengajaknya berbicara, bisa karena biasa, pepatah yang terbukti benar bagi dirinya.

 

Karena sudah mahir berbahasa Inggris, Mike suka sering mengajaknya berjalan-jalan menemaninya. Kaki Lilis semakin sering menyambangi mall dan cafe-cafe di Jakarta, ia sudah tidak ragu lagi melangkahkan kakinya di ekskalator, menekan tombol lift, dan mencicipi cappuccino di Coffee Bean tempat dimana Mike sering berkunjung.

 

***

 

Langit sore Jakarta menampakkan cahaya kemerahannya yang indah merekah. Tugu Peringatan yang diarsiteki Soedarsono dan Frederich Silaban, dengan konsultan Ir. Rooseno, masih menampakkan pesona khasnya. Obor pada ujung tugu berkilauan, perunggu seberat 14,5 ton yang berlapis emas 35 kg terlihat menawan ditimpali sinar mentari senja yang sedang beranjak ke peraduannya.

 

Beberapa orang terlihat berlari-lari mengelilingi Monas, minggu sore yang cerah. Monumen Nasional memang menjadi salah satu obeyek hiburan warga kota melepas penat. Jogging, bersepeda, jalan-jalan, atau sekedar mengelilingi tamannya yang rimbun.

 

Joko duduk sendirian di salah satu bangku batu taman kota tersebut. Tidak ada lagi suara lembut gadis manis yang menemaninya. Lilis telah berubah, tidak lagi untuk dirinya. Putus. Hanya angin kering ibu kota yang setia menemaninya, menggelayuti kemejanya lusuhnya.

 

Samar-samar ia melihat seorang pria bule sedang berlari-lari dengan seorang gadis yang sudah sangat ia kenal. Joko mengucek-ucek matanya, tidak percaya akan apa yang telah ia lihat. Tidak mau percaya dengan kenyataan yang ada di hadapannya.

 

Gadis berlesung pipit dengan rambut sebahu yang diikat itu sedang jogging sore, berlari-lari seiringan dengan seorang pria bule bermata biru. Lilis, iya, dia yakin sekali bahwa itu Lilis, gadis yang dulu pernah bersama dengan dirinya, yang dulu pernah berbagi bangku ini dengan dirinya.

 

Perasaannya bercampur baur. Banyak hal yang bisa berubah di Jakarta. Drastis.

 

Mungkin Lilis telah menjadi seperti beberapa cerita selebritis yang ia pernah lihat di infotainment, menjadi istri seorang pria kewarganegaraan asing. Begitu benaknya berkata.

 

Ia hanya bisa memandang Lilis dari kejauhan, batinnya terbakar rasa cemburu, namun bukan cemburu yang membabi buta.

 

Suatu hari nanti, aku akan sukses di Jakarta, lihat saja. Tekad Joko semakin mantap menapaki kehidupan kota. Semangat itu membara kuat dalam hatinya, untuk bisa hidup sukses di Jakarta, semangat yang berkobar membara, seperti kobaran api di ujung tugu Monumen Nasional yang menandakan semangat para pejuang kemerdekaan dahulu kala…

 

 

---000---

 

Samarinda, 8 November 2008

Syamsul Arifin

JILFest competition, cerpen yang belum menang ^_^

13 comments:

  1. Meski tidak menang....cerpen yang menawan:)
    Keep write.....^_^

    ReplyDelete
  2. Tetap semangat aja ya pa..xixi

    ReplyDelete
  3. semangat ya Joko! Toh masih banyak gadis yang lain. xixixi..

    ReplyDelete
  4. Sarat pengetahuan sejarah ni :)

    Kirain mau diikutkan dalam lomba menulis cerpen yg berseting kota Jakarta.
    Nice story.

    ReplyDelete
  5. Hem..kakak yg kreatif n aktif..salut,keren.Ganbare kak!!;-)

    ReplyDelete
  6. lebih dari lumayan...bagus...terus berkarya

    ReplyDelete
  7. sekadar saran aja...

    perbanyak referensi bacaan,
    jangan monoton.

    ReplyDelete
  8. rubah sudut pandang...
    meski menulis itu mengeluarkan pemahaman kita, dan terkadang sulit mengambil jarak.

    satu hal lg,

    cerpen biasanya berakhir mengambang, tdk ada akhir yg jelas.

    ReplyDelete
  9. upin..
    jd inget kk sepupuku.. gr2 putus cinta.. skripsiny jd kelar 3hr..wkakak

    ReplyDelete
  10. nice short story!!

    ada satu kontakku yg ikutan JILFEST competition ini..
    ttg jakarta..
    tp kt ny jg batal krn sedikit yg mengirimkan naskah..
    benarkah?

    ReplyDelete
  11. @ivoniezahra
    makasih atas apresiasinya :)

    @mour4
    iya, tetap semangat ^_^

    @anisanisa
    thanks :)

    @nieswasweet
    iya, si Joko kayaknya masih semangat kok :D hehehe
    *weleh*

    @ilasyegaf
    yup, diikutin kok di lomba ituh, cuma belum menang aja tahun ini :D
    *insya Allah dicoba lagi deh dengan lomba2 yang lainnya ^_^

    @hikmah
    makasih atas apresiasinya, masih butuh banyak pendalaman skill penulisan nih :D

    @ishacovic
    makasih ^_^

    @samuraitakbertuan
    yup, memang agak2 gimana gituh nih cerpen, terlalu "lurus" dan "jelas" :D
    ok2x, makasih atas saran2nya ^_^

    @asty
    weleh2x, ternyata memang ada ya kejadian seperti ituh di dunia nyata :D

    @rizkivita
    thanks :)
    ngga dibatalin kok, di websitenya (JILFest.org di bagian berita) udah ada pengumuman pemenangnya kok :)

    ReplyDelete