01 December 2008

re-make [cerpen] Sepotong Kue Cinta untuk Sarah

"So, sampai disini saja?"

"Iya", hening sejenak, "kita cukupkan sampai disini saja"

"Ngga ada last kiss good bye?", tanya menggoda terdengar sayup diantara rasa putus-asa.

"Kita kan belum jadi apa-apa. Dan mungkin takkan pernah jadi apa-apa. So, you know the rules kan"

"Feel like I wanna cry", ratap sang lelaki.

"Ya nangis aja, saya sudah puas menangis berhari-hari yang lalu", senyum bangga mengembang di wajah putih lawan bicaranya.

"I love you", kalimat itu diungkap lemah lelaki yang sedang melayangkan pandangannya, jauh.

"I love you too, more than you love me do", jawab sang gadis.

 

Desir angin malam mengisi jeda. Panjang.

 

"Gimana kelanjutannya..?", ujar sang lelaki itu pasrah.

"Ngga akan ada kelanjutannya. Kita cukupkan rasa itu sampe titik ini saja. Jadikan hanya sebatas kenangan. Hapus rasa. Cukupkan asa. Buka bab baru lembaran kehidupan kita"

"Baiklah kalau itu memang maumu"

"Ini memang yang terbaik bagi kita", sang gadis menatap pasti.

 

***

 

Enam bulan yang lalu

 

“Ma, ngga ikutan arisan keluarga di rumahnya paman Ali?”, sarah menengok mamanya yang sedang berada di ruangan keluarga, menonton acara kuis di televisi yang dilihatnya secara tidak serius.

 

“Ngga, kamu aja sana sama kakakmu kalo mau berangkat”, jawab mamanya singkat.

 

“Ya udah klo gituh, Sarah berangkat dulu ya. Mas Adi udah nungguin di depan nih”, diambilnya tangan mamanya, diciumnya.

 

Mamanya Sarah masih sangat kuat menyimpan rasa benci kepada keluarga adik almarhum ayahnya Sarah. Ia masih beranggapan bahwa karena merekalah, ayahnya Sarah terlambat ditolong untuk operasi, sehingga mengakibatkan kematiannya. Kejadian itu terjadi dua tahun yang lalu, dan bara kebencian itu masih saja panas membara dalam dada mamanya. Mungkin memang begitu sifat wanita, mudah membenci seseorang, namun tidak mudah memaafkannya, atau justru itu adalah sifat kebanyakan manusia, entahlah.

 

Sarah dan kakaknya Adi mengambil sikap yang berbeda dengan mama mereka. Sarah merupakan orang yang paling terpukul ketika ayahnya meninggal, maklum, dia yang paling dekat dengan sang ayah. Olok-olokan yang biasa dia terima dari para anggota keluarga yang lain adalah julukan Sarah “sang anak kesayangan ayah”, bukan Sarah sang “anak mami” sebagaimana anak-anak perempuan lainnya lebih dekat ke ibu-ibu mereka. Tiada hal yang tidak dibaginya dengan sang ayah, dan tiada orang yang paling dekat dengan dirinya selain sang ayahnya.

 

Meski demikian, selepas masa berkabung selama tiga bulan, Sarah sadar bahwa ajal seseorang itu sudah ditentukan semenjak seorang manusia masih dalam kandungan, dan tidak akan bisa dimajukan ataupun dimundurkan oleh siapapun, dan oleh apapun. Pengajian rutin yang selama ini ia ikuti ternyata tidak sia-sia, ia telah menjadi seorang gadis tegar yang penuh keimanan.

 

Setelah satu jam perjalanan.

 

“Eh, katanya anaknya Pa’de Ali datang dari Amrik ya hari ini”, begitu ujar kakaknya, Adi, ketika sampai di depan sebuah rumah berwarna coklat bertaman cukup luas. Ia mencari tempat parkiran motor yang paling nyaman, mencoba mencari-cari tempat yang terhindar dari sinar matahari langsung.

 

“Iya, kemarin sih bu’de bilang begitu ditelpon waktu ngundang kita, katanya selain acara arisan keluarga, hari ini sekalian syukuran anaknya yang baru pulang sehabis kuliah di School of Commerce and Bussines di Boston University”, jawaban Sarah yang diiringi ungkapan ooo panjang dari sang kakak.

 

Rumah sudah dalam keadaan ramai, sudah banyak para saudara yang hadir disana. Anak-anak kecil, keponakan Sarah berlari-larian, dia menyalami mereka semua, satu persatu, dan menuju para orang-tua-orang-tuanya, Adi, sang kakak, malah langsung menuju meja tempat kue-kue disajikan, sambil meletakkan kue di piring kecil, ia baru berbaur bersama Sarah, “dasar nih anak, ternyata makanan lebih menarik perhatiannya dari pada silaturahmi bersama saudara”, tawa kecil Sarah dalam hati.

 

“Wah, Sarah, kamu sudah jadi perawan sekarang, semakin besar dan cantik aja”, ujar bu’de Ani istri paman Ali menyapanya keras.

 

“Udah jadi perawan, emang dulunya saya bukan perawan, haduh, gubraks deh, ada-ada aja nih bude”, batin Sarah yang badung komentar.

“Iya dong bu’de, kan dikasih makan, makanya jadi besar”, Senyum manis terpampang di wajah Sarah.

 

“Iya bu’de, untung aja ngga dikasih pupuk sama disiramin, bisa besar juga tuh anak”, Adi nyeletuk, meledek adiknya.

 

“Yeee, emang gue tanaman”, sambil menjulurkan lidah kepada kakaknya.

 

“Sini, bu’de kenalin sama Dito, anak bu’de yang baru aja pulang dari Amerika”, tangan bu’denya menarik Sarah melewati kerumunan orang.

 

“Hai, I’m Dito”, ujar pria tinggi bertubuh proporsional, tangannya terulur tuk menyalami.

 

“Saya Sarah”, tangannya tertangkup di depan dadanya, sambil tersenyum.

 

“Ow, what a cocky girl you are”, suara itu keluar dari lisan Dito, sepupunya, sinis.

 

I’m not cooky, I’m just trying to do what my religion asking me to do. Try to honour others principle, that is what a freedom are. And eventought you had been living for quite some time abroad, it doesn’t mean that you can speak using language that you might think others can’t understand. I have 670 TOELF score. And this is Indonesia, so please use bahasa Indonesia, be proud of where you come from”, perkataan tegas yang diiringi senyum itu tidak menimbulkan kecurigaan pada ibunya Dito yang menemani mereka.

 

“Ok-ok, maaf deh, maklum baru datang, jadi masih jet-lag nih”, pria yang berusia kira-kira dua tahun di atas usia Sarah itu tersenyum pula.

 

“Udah lama banget saya ngga lihat wanita pakai jilbab rapi seperti kamu”, lanjutnya.

 

“Sarah, saya shalat di mushola sana dulu ya”, tiba-tiba Adi, kakaknya Sarah menyela, muncul secara tiba-tiba “udah adzan nih”

 

“Ok”, jawabnya sembari menganggukkan kepala, “eh, mas kenalin dulu nih, si Dito, anaknya bu’de Ani yang baru pulang dari Amrik sono”

 

“Adi”, tangan Adi menyalami Dito erat, “mau bareng brangkat shalat ngga?”

 

“Ehmm, nanti aja deh, saya nyusul”, jawab Dito kikuk.

 

“Ya udah, saya duluan ya”, Adi melangkah keluar rumah menuju mushola yang sedang mengumandangkan adzan dzuhur.

 

“Yah, payah, percuma aja kuliah di luar negeri jauh-jauh, tapi ngga bisa shalat”, Sarah menyindir pelan ketika sang kakaknya sudah hilang dari pandangan

 

“Wah, jangan nyindir gitu dunk, klo ngga bisa, diajarin kek, jangan dijatuhin gituh”, bela Dito.

 

“Ok, nanti kita ngobrol-ngobrol lagi tentang belajar agamanya, sekarang kamu pergi dulu gih, ikutin mas Adi tuh, nanti baru kita lanjut lagi”, kalimat Sarah terlontar bagai sihir,

 

Dito ragu-ragu,

 

“Udah sanah buruan, nanti nyasar lagih”

 

“Ok deh, tapi nanti diajarin ya bu ustadzah tentang shalatnya”, Dito mulai melangkah.

 

It would be my pleasure, until than, hurry up and catch up my big brother, hush-hush!”, wanita cantik seperti Sarah memang mudah mempengaruhi seseorang.

 

***

 

Dua bulan purnama penuh telah silih berganti.

 

“Mas, aku sudah sering banget kontak sama si Dito nih. Mending mas aja deh yang ngajarin dia ngaji ya”, Sarah duduk di tempat tidur kakaknya, “Sarah khawatir nih”

 

Kakaknya mengalihkan pandangan dari meja gambarnya, menyingkirkan sejenak gambar bangunan yang sedang diselesaikannya. Menatap adik satu-satunya.

 

“Hmmm, kenapa memangnya?”

 

“Ya khawatir ada gejolak hati aja. Habis kami berdua rada-rada sama kesukaannya, mulai dari sama pilihan genre musiknya, dan sama-sama suka puisi, bahkan kami suka iseng-iseng saling berbalas puisi gituh”, Sarah menghela nafas panjang.

 

“Ok deh, nanti kakak coba cari kelompok pengajian yang dia bisa ikutin, dan kakak yang sekarang langsung monitor dia. Maaf ya selama ini kakak sibuk lagi ngerjain proyek baru nih, jadi kurang bisa bantu kamu kemarin-kemarin”

 

Adi yang otomatis menjadi kepala rumah tangga setelah ayah mereka meninggal memang harus bekerja ekstra keras, berusaha membagi waktu antara kuliah dengan bekerja, karena segala kebutuhan rumah tangga berada dipundaknya.

 

“Untuk sekarang, jaga jarak aman aja dulu ya, be carefull dear, jangan bermain sesuatu yang kamu ngga bisa mengendalikannya”, begitu kakaknya selalu mengingatkan kalau untuk urusan rasa hati. Sarah mengangguk lemah.

 

Terngiang puisi Dito di dalam benaknya.

 

Break the silent with your present

Throw my sadness into the endless sky

Cheer me with your laugh

Bright my day with your colorful emotions

 

 

Hati merupakan suatu hal yang tak dapat dikendalikan, dan Sarah sudah bermain suatu hal yang ia telah terseret jauh di dalamnya. Benih rasa cinta mulai tersemai dalam hatinya.

 

***

 

Tiga bulan kemudian.

 

Simfoni nada klasik mengalun dari handphonenya, sebuah nada dering yang unik dan tak biasa, bahkan aneh menurut teman-temannya, sebuah nama terpampang di layar, sebuah nama yang membuat getaran tak biasa dalam hatinya, Dito.

 

“Assalamuailaikum”, ia mencoba menjaga suaranya tetap datar, cukup mudah bagi seorang alumni fakultas psikologi seperti dirinya.

 

“Wa’alaikumsalam Sarah”, Suara di ujung telepon menjawab.

 

“Sarah, aku ingin bicara serius dengan dirimu”, nada suara Dito terdengar tak biasa, “apakah ini waktu yang tepat?”

 

“Iya, ga apa-apa kok, bicara aja”, degup jantung Sarah terasa meningkat cepat, penasaran dengan apa yang akan dibicarakannya, apakah ia akan kembali lagi ke Amerika sana, melanjutkan studinya, seperti yang dulu pernah dikatakannya, mengambil jenjang master.

 

“Ehm, begini”, Dito agak canggung melanjutkan pembicaraan, “aku ingin melamarmu”

 

Deb, terkejut dengan dengan apa yang diucapkan Dito, Sarah mengambil posisi duduk.

 

“Apa, apa ngga salah denger nih? Kamu serius? Untuk hal seperti ini, jangan bercanda ya”, Sarah mencoba konformasi.

 

“Iya, aku merasa sudah siap menikah, dan aku merasa engkau merupakah wanita yang paling tepat untuk diriku. Cantik, cerdas, lembut dan shalihah”

 

“Sudah istikhara? Sudah matang pemikirannya?”, tanya Sarah menenangkan diri.

 

“Ya, bahkan dikit lagi hampir gosong nih karena saking matangnya”, Dito tertawa kecil, namun masih sangat kentaran sekali gugup dan canggung gemetaranan dirinya.

 

“Baiklah aku minta waktu”

 

Huff, desah nafas panjang mengakhiri perbincangan yang bisa jadi sangat menentukan langkah perjalanan hidupnya selanjutnya, sang imam dalam kehidupannya, sang nahkoda dalam bahtera rumah tangganya, sang ayah bagi anak-anaknya. Satu minggu, waktu yang ia minta.

 

***

 

“TIDAK, mama tidak akan menyetujui pernikahanmu dengan anaknya pembunuh ayahmu”, reaksi mama tegas ketika Sarah mengutarakan pembicaraannya dengan Dito, “keluarganya tidak mau meminjami kita uang ketika ayahmu kecelakaan dan butuh dana jaminan untuk pengobatan ayahmu”, raut wajah mamanya Sarah berubah merah, kesal campur sedih mengingat peristiwa duka dan pahit yang telah terlewati.

 

“Mungkin memang mereka sedang tidak punya uang, lagi pula, mas Dito kan masih kuliah di luar negeri, sehingga mereka juga butuh dana yang cukup besar”, Sarah mencoba merasionalkan emosi mamanya.

 

“Terserah kamu, pokoknya mama sudah tidak rela kamu menikah dengan Dito, kalau kamu mau lanjut terus silakan saja, tapi mama tidak akan merestui”, air mata mengalir di pipi mamanya.

 

Sarah menghela nafas dalam. Ia tidak bisa dan tidak boleh keras terhadap mamanya. Teringat wejangan guru ngajinya, tentang keutamaan berlaku lemah lembut terhadap mamanya, orang tua tunggalnya.

 

Adi sang kakaknya telah menyetujui langkah yang ia ambil, yaitu memilih Dito sebagai pendamping hidupnya, pada dasarnya Adi selalu mendukung setiap langkah yang dapat membuatnya bahagia.

 

Namun sikap penolakan keras mamanya telah menghempaskan Sarah pada dinding yang kokoh dan sangat sulit tuk diruntuhkan.

 

***

 

“Mas Dito, sepertinya kita tidak akan bisa melangkah lebih jauh”, Sarah menelpon setelah jangka waktu satu minggu yang ia minta berlalu.

“Huff”, helaan nafas panjang terdengar diujung telpon, Dito terduduk dari diri tegapnya, “Bisakah aku menemuimu?”

“Untuk apa? Nanti malah menambah duka saja”, suara Sarah terdengar bergetar.

“Untuk berterima kasih buat segalanya”

 

Sarah larut dalam diam, tak bersuara.

 

“Aku mau buatin kamu kue brownis, sebagai ucapan terima kasihku”,

Kuliah di luar negeri memang mengharuskan Dito tuk terbiasa masak sendiri, dan sedikit sedikit ia pun bisa memasak kue,

“Ajak kakakmu ya”

“Ya iyalah, masa saya pergi sendiri nemuin kamu”

“Ok, sampai bertemu nanti malam”, Dito menutup pembicaraan.

 

Sore itu, Dito memanggang brownis dengan toping coco crunch coklat, sebuah kue yang dimasaknya spesial, untuk seorang wanita istimewa. Kue cinta untuk Sarah.

 

 

---000----

 

2 Agustus 2008

Syamsul Arifin

*Lomba Cerpen Femina 2008*

15 comments:

  1. yah, mas.. jangan nanggung donk critanya..
    pnasaran nih..

    ReplyDelete
  2. waduh, ketahuan deh, pada ngga baca yang detail :P

    ending cerita ini ada di awal cerita ^_^

    ReplyDelete
  3. baca koq. Pisahkan..
    Lanjutin lagi trus bikin happy ending donk
    request nih..

    ReplyDelete
  4. oke, udah baca lagi
    tapi sedih nih mas
    happy ending version, maybe?

    ReplyDelete
  5. saya lebih suka versi yang ini ^_^

    *si sarah lebih mengutamakan cinta kepada ibunya :)

    ReplyDelete
  6. gak ada semboyan gini ya mas:
    "Karena cinta harus diupayakan",
    khas sinetron2 indonesia?

    ReplyDelete
  7. bagus krn dia lebih cinta ma ibunya..
    tp bisa donk dibikin ibunya membuka pintu maaf buat kluarganya dito?
    Marah kan gak boleh lama2 :D

    ReplyDelete
  8. Sy lbh suka crtx spt ini,tak prlu ssuai keinginan yg bacb

    ReplyDelete
  9. bikin versi yg lebih menantang laaahh....gimana Sarah berjuang membukakan pintu maaf sang ibu. Si ibu kan juga harus bisa ikhlas menerima kepergian suami nya tanpa rasa dendam dooonkk....

    Heheheehh..(penonton nya protes ;P)

    ReplyDelete
  10. awal ceritanya mengingatkanku pada sesuatu......hhhhmmmm.....

    ReplyDelete
  11. Fiuhhhhh..ada sesak di dada...

    ReplyDelete
  12. Kompromi ya...?
    Antara keinginan dan keyakinan....

    ReplyDelete