07 September 2007

[flash fiction] Romantisme di Tengah Banjir

Kadang ingin tertawa sendiri, tapi malu jika nanti orang-orang akan mempertanyakan kenapa ketawa sendirian. Namun selalu muncul rasa geli jika teringat peristiwa tersebut. Kejadiannya terjadi saat banjir besar melanda Jakarta 2 Februari kemarin. Lho, kok banjir-banjir malah geli, apakah seperti kata pepatah, tertawa diatas penderitaan orang? Atau memang benar ungkapan salah seorang pejabat negara saat ia mengatakan bahwa banjir jangan terlalu diributkan, lha wong yang kebanjiran masih banyak yang tertawa?

Bukan karena itu, namun karena saat banjir itu terjadi kejadian yang paling romantis dalam kehidupan saya. Begini ceritanya.

Waktu itu saya pulang kantor lebih cepat dibandingkan suami, yang memang selalu saya usahakan, agar dapat sedikit mempersiapkan kedatangannya seperti membuat minuman dan berganti pakain yang lebih segar untuk menyambut suami tercinta. Namun hari itu sedikit berbeda, hujan yang dengan deras melanda kota, telah membuat air naik sedikit demi sedikit. Dan di rumah hanya kita berdua yang menempatinya, sehingga membuat saya sedikit khawatir. Saya telpon suami yang ternyata sedang berteduh di dalam perjalanan disaat hujan, wajar memang karena meneruskan berkendara motor di tengah hujan yang lebat memang akan sangat membahayakan dan merepotkan, memberitahukannya mengenai keadaan sekitar rumah yang airnya semakin meninggi. Suami hanya menenangkan dan mengatakan agar aku mencoba menyelamatkan barang yang berharga dan bersabar karena sebentar lagi dia akan datang jika hujan mulai reda. Air hujan terus merambat naik melebihi biasanya, ku SMS sang suami dengan nada sedikit bercanda namun serius, “Tolong mas, banjir nih…”. Tak berapa lama berselang, saat aku sedang mengangkat-angkat barang-barang yang bisa kuangkat ke tempat yang lebih tinggi, mas Rama datang berjalan kaki dengan mengenakan jas hujan, motornya diparkir di jalanan yang lebih tinggi diatas jalan masuk menuju gang ke rumah kami. Ntah memang aku yang lagi merasa sok romantis atau karena pengaruh komik serial cantik yang ku baca tadi malam, tapi kedatangan mas Rama ke rumah bagaikan kedatangan seorang pangeran yang hendak menyelamatkan seorang puteri Senyum manis

Setelah kami mengangkat beberapa barang ketempat yang lebih tinggi, dengan setengah bercanda mas mengatakan, “OK, karena semua barang sudah diangkat, sekarang giliran kamu yang saya angkat”, dengan sedikit menantang pula ku katakan, “emang kuat?” sambil menjulurkan lidah, “O, siapa takut, akan ku gendong kamu sampai mushola depan, gimana?” timpalnya. Lalu tiba-tiba saja dia meraih badanku dan menggendongku di depan, persis seperti di film-film barat ketika pengantin wanita digendong oleh pengantin pria. Dengan sedikit kaget dan tertawa aku berkata, ‘aduh mas apa-apaan sih…”, “kan mau digendong sampe mushola” dia menjawab, “eh-eh, pintunya belum di kunci” aku beralasan karena tidak menyangka si mas akan benar melakukannya, “udah kamu kan bisa menutupnya sambil digendong”. Lalu jadilah saya digendong dari depan rumah sampai ke musholah tempat dimana beberapa orang telah mengungsi.

Subhanallah, ada sedikit rasa malu, senang, dan sedikit tidak percaya saat melewati genangan air yang meninggi dalam gendongan mas tercinta.

Sungguh, aku tidak kan terlalu peduli dengan kulkas yang pasti kan terendam, kasur yang telah setengah basah karena baru diangkat saat mas Rama datang, maupun perabotan yang kan rusak akibat air banjir, karena hari ini aku sangat bahagia sekali…

---
Cerita diatas hanya rekaan belakan, alias tidak nyata, karena penulis sendiri bahkan belum menikah. Beberapa kesamaan cerita diatas dengan kehidupan penulis adalah penulis juga menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasi dan saat banjir besar kemarin rumah penulis pun kebanjiran.

Namun bagaimanakah jika kejadian tersebut sungguh terjadi dalam kehidupan nyata? Bagaimana pendapat anda? Mengenai usaha seorang suami yang sepertinya terlihat romantis, namun sesungguhnya merupakan usaha untuk meredakan jiwa sang istri yang sebelumnya tidak pernah kebanjiran selama hidupnya karena sewaktu tinggal bersama orang tuanya berada di lokasi yang “elit”, usaha yang ingin mengalihkan stress sang istri dari banjir kepada kehangatan romantisme pasangan suami-istri?

Subhanallah, sungguh perilaku ini patut di contoh, adakah kita mampu tuk tetap romantis di kala keadaan genting menghalang, atau di kala keseharian waktu kita terhadap orang yang memang harus kita perlakukan sedemikian istimewa dan spesial.

Jakarta, 13 February 2007
syamsul.arifin@yahoo.com

No comments:

Post a Comment