07 September 2007

[cerpen] Boncengan Motor

Motor yang terlihat bersahaja itu telah menemaniki sekian lama. Sudah banyak jasa yang telah dipersembahkan olehnya untukku. Meskipun terkadang jarang ku rawat namun ia tidak pernah banyak mengeluh, memang hebat si kumbang ku itu.

Dalam perjalanan pulang, terlihat jelas wajah seorang wanita dengan jilbab rapi yang telah lama ku kenal. Oh, ternyata ia adalah Arianti, salah satu akhwat di sayap mentoring lembaga da’wah kampus yang telah lama ku kenal, maklum kami satu kelas dan telah lama beberapa kali berada dalam satu kelompok untuk beberapa mata kuliah. Ia terlihat sedang menunggu angkutan umum. Beberapa kali ia menyetop, namun angkutan yang melewatinya selalu saja penuh. Pada jam-jam segini memang banyak orang yang sedang beranjak pulang ke rumah dari tempat kerja.

Apakah aku harus berhenti dan menyapanya, ataukah aku pura-pura tidak melihat dan melewatinya saja? Ah, aku tidak mungkin pura-pura tidak melihat dan melewatinya begitu saja, meskipun saat ini aku sedang mengenakan helm full-face yang menutupi seluruh wajahku, namun jaket yang kukenakan pasti kan dikenali olehnya. Karena jaket ini merupakan jaket kelas yang unik dan sering sekali ku pakai. Apalagi jalanan tidak begitu sepi dan sedikit merayap.

Ku berhentikan motorku sekitar satu meter di depannya.

“Assalamualaikum anti, mau kemana”, sapaku, “Wassalamualaikum, eh Ipin, mau ke silaturahmi ke tempat Dian di jalan bungur”, “mau pulang ya pin?” dia balas bertanya, aku mengangguk pelan.

Waduh, batinku berujar, jalan bungur persis merupakan jalan raya yang akan ku lewati dalam perjalananku menuju rumah. Dan memang rumah Dian dekat sekali dengan rumahku.

Hatiku bergejolak. Apakah aku harus menawarinya boncengan atau bagaimana. Dengan memboncengku dia bisa saja menghemat waktu dan ongkos transportasi. Namun kalau memboncengku, akan ada banyak fitnah yang bisa terjadi nih. Ukhti Arianti merupakan salah satu akhwat yang menjadi idaman banyak pria di kampusku, baik para mahasiswa yang tidak aktif berorganisasi apalagi yang aktif berorganisasi dan telah mengetahui cara kerjanya yang kongkrit.

Kalau tidak menawarinya, apakah mungkin dia akan sakit hati, karena dia pun tahu bahwa rumahku dekat sekali dengan rumah Dian, sahabat karibnya yang belum berjilbab, namun cukup aktif juga di lembaga da’wah kampus tempat dimana aku dipercayakan untuk memimpin.

Hatiku bergejolak.

---

Sore ini aku akan menuju ke rumah Dian, sahabat karibku di kampus dan di lembaga da’wah tempat kami berorganisasi. Aku tidak tahu, kenapa bisa klop dengan mahluk yang satu itu, padahal kami ini cukuplah berbeda. Dian berasal dari keluarga cukup berada, yang ayahnya merupakan mantan diplomat di Yunani, dan sering berdandan layaknya anak-anak gaul yang lain, kecuali kalau sedang acara keislaman, dia pasti berdandan agak sedikit berbeda, bahkan sering mobilnya dipakai untuk transportasi pembicara ataupun untuk persiapan makanan dan peralatan. Sedang aku merupakan jilbaber yang cukup rapi karena memang sudah terbina semenjak masih SMA. Mungkin salah satu kesamaan kami ialah, kami sama-sama suka ikut di acara-acara bakti sosial. Dan aku memang kenal dia dari situ. Sudah banyak bakti sosial yang telah kami ikuti bersama, mulai dari lingkup kampus bahkan sampai bakti sosial yang diadakan oleh organisasi di luar kampus, seperti yang telah kami ikuti kemarin sewaktu membantu korban gempa bumi di Yogyakarta.

Hari ini entah kenapa angkutan umum yang menuju rumah Dian sepertinya selalu saja penuh sesak, sudah beberapa kali aku menghentikan angkutan tersebut, namun selalu saja penuh. Huh…

Mataku tertuju pada seorang pengendara motor yang sepertinya aku kenal. Jaketnya itu sangat aku kenal betul, yup ternyata jaket kelas angkatan ku, sepertinya itu akh Ipin deh, dari postur tubuhnya ku kenali pengendara tersebut.

Dia berhenti sekitar satu meter di depanku.

“Assalamualaikum anti, mau kemana”, dia menyapaku, “Wassalamualaikum, eh Ipin, mau ke silaturahmi ke tempat Dian di jalan bungur”, “mau pulang ya pin?” aku balas bertanya, dia mengangguk.

Waduh, rumahnya Dian kan dekat dengan rumah akh Ipin. Jangan-jangan nanti malah ditawarin boncengan motor lagi. Apa kata dunia nanti. Seorang mas’ul (pemimpin) lembaga da’wah kampus boncengan dengan seorang akhwat yang bukan muhrimnya. Bisa terjadi fitnah nih. Dan memang akh Ipin ini orangnya suka sungkanan alias nggak enakan sama orang yang bisa dibantunya meskipun terkadang dia sendiri suka merasa tidak begitu sreg dihati, setidaknya itu yang kutahu setelah beberapa kali bekerja kelompok bareng dengannya.

Hatiku bergejolak.

Dia turun dari sepeda motornya, dan membuka helm full-facenya, sepertinya ia juga tampak bingung.

Kami terdiam untuk beberapa saat.

---

Alhamdulillah ada angkutan yang sepertinya masih muat untuk satu orang lagi, meskipun harus duduk di dekat pintu. “pin, saya duluan ya”, tangannya melambai menyetop angkutan yang langsung berhenti. “iya, hati-hati ya, salam sama Dian” ujarku, “assalamualaikum”, ‘wa’alaikum salam” dia membalas disertai senyum.

Alhamdulillah jadi nggak perlu menawarinya boncengan deh, maafkan aku ya ukhti, tidak bisa menawarimu tumpangan, batinku berujar saat ku naiki kembali motorku. “Ya Allah mudahkanlah urusan hamba, dan bantulah hamba dalam segala urusan hamba”

---

Alhamdulillah ada angkutan yang sepertinya masih muat untuk satu orang lagi, lebih baik duduk di dekat pintu deh dari pada diboncengin ikhwan yang bukan muhhrim, batinku berujar. “pin, saya duluan ya”, ku melambaikan tanganku menyetop angkutan yang langsung berhenti. “iya, hati-hati ya, salam sama Dian” dia berkata, “assalamualaikum”, ‘wa’alaikum salam” ku jawab dengan lega.

Alhamdulillah, jadi nggak perlu diboncengin ikhwan deh, batiku berujar. “Ya Allah teguhkanlah hamba, dan bantulah hamba tuk beristiqomah di jalanMu” aku berdoa sembari mencari pegangan yang nyaman.

 


*Cerpen ini memberikan gambaran sudut pandang dari kedua belah karakter (Arianti dan Ipin), yang masing-masing sudut pandang dipisahkan dengan tanda --- (strip/dash tiga  kali). Sudut pandang Arianti dibuat dalam tulisan italic/miring*


---000---

Jakarta, 22 April 2007
Untuk ukhti V, maafkan aku ya.., yang belum bisa istiqomah...

2 comments:

  1. Iya, kita sering bingung, mau enggak nawari tumpangan gimana, nawari tumpangan juga bagaimana???

    ReplyDelete
  2. emang agak2 dilematis ya...
    ya lihat2 kondisinya aja dulu kali ya :)

    ReplyDelete