01 November 2007

[cerpen] Perahu Cinta di Tengah Badai

“Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu), dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis” (QS. An-Najm: 42-43)

---

Tak pernah ku percaya hal ini akan menimpa diriku. Sekarang aku baru bisa mengerti kenapa kala itu Fitri mengadu sambil berlinang air mata ketika bertutur mengenai kisah cintanya dengan Arief yang kandas di tengah jalan. Dan sekarang aku baru paham, kenapa ia bisa dengan mudah meneteskan air mata ketika mendengarkan lagu-lagu mellow setelah itu.

Ah, adik kelasku yang satu itu memang sangat manja kepadaku, sudah sering dan bosan ku ingatkan agar kalau sedang butuh bantuan atau mau curhat, agar menghubungi teman-teman akhwatku, namun kali itu saya tidak bisa berbuat banyak ketika ia nyerocos berkisah lewat telpon dengan tersedu-sedu.

Namun, sepertinya Fitri sekarang sudah berubah banyak, ia telah memakai jilbab rapi, dan mengikuti kajian keislaman rutin terpadu. Semoga engkau istiqomah ya Fitri, begitu pesanku ketika melihatnya memamerkan jilbabnya yang pertama kali sembari memberikan sebuah gantungan kunci berupa boneka mini salah satu tokoh powerpuff girl yang mengenakan jilbab.

Hidupku bagai di alam semu, sama sekali tidak pernah ku duga akan mengalami hal yang sama seperti dulu Fitri mengalaminya. Ah, mungkin aku terlalu melankolis, namun sudah beberapa kali ku menitikkan air mata karena perasaan yang katanya bernama cinta.

Radinal Husein, salah seorang sahabat seperjuangaku dulu ketika di rohis fakultas, kini sedang dalam perjalanan mempersunting gadis yang selama ini menimbulkan getaran aneh dalam jiwa.

Sudah ku coba tuk meredam rasa itu, namun ternyata bersikap ridha itu agak sulit. Bagaimanapun juga, kusadari bahwa sekarang adalah saat yang tepat tuk mempraktekkan ilmu mengenai ridha, dan ku akan berjuang sekuat tenaga mengamalkannya. Melanjutkan hidupku dan mengkerdilkan nafsuku.

---

Beberapa hari lalu aku berkunjung ke rumah Radinal dan kami berbincang banyak sampai-sampai rasa kantuk tidak akan pernah datang menyerang malam ini. Sebetulnya aku berada di rumahnya untuk berbincang mengenai bisnis yang sedang ia kerjakan, ia akan memulai bisnis rental komputer di dekat kantornya yang berada dekat dengan kampus Gunadarma, katanya peluang disana bagus, aku diajak bergabung sebagai salah seorang investor.

Sudah lama aku tidak menginap di rumahnya. Dulu ketika masih mahasiswa, sering sekali aku menginap disini, bahkan terkadang hanya tuk sekedar bisa menikmati kolam renang kecil yang ada di taman belakang rumahnya

Berkali-kali ia menginginkan aku meneguhkan pendiriannya dalam menjalani proses menikahi Hani binti Azkam. Terkadang terlontar ucapan tidak percaya dalam dirinya, kenekatan yang tidak dapat dipercaya, ia bilang.

Aku hanya bisa tertawa-tawa kecil, “emang, terkadang untuk pilihan yang satu ini diperlukan sedikit persiapan dan banyak kenekatan ray. Klo ngga mah ngga akan nikah-nikah. Trus juga emang, klo lagi proses gini, suka ragu-ragu gitu, wajar aja itu”, kataku sok tahu sembari tertawa ringan, dia pun tertawa, ha ha ha..

Rembulan perlahan beranjak ke peraduannya, malam ini kami tertidur dengan kelelahan mengenang romantisme masa muda dan goresan bayangan masa depan.

---

Handphone ku berucap salam, memberitahukanku akan hadirnya sebuah SMS baru. Innalilahi wa innalilahi rojiun, batinku, Hani kecelakaan tertabrak angkot ketika sedang menyebrang jalan, dia dirawat di rumah sakit Pasar Rebo. Pengirimnya Radinal Husein. Ya Allah, semoga ia baik-baik saja, doaku dalam hati. Kenapa itu bisa terjadi padanya, padahal acara akad nikahnya akan dilangsungkan seminggu lagi. Ya Allah, terbayang wajah cemas dan bingung pengirim pesan tersebut.

Hari sabtu yang cerah, tiga hari semenjak ku terima pesan duka itu, ku kunjungi rumah sakit tempat Hani di rawat, aku janjian dengan beberapa orang teman.

Ternyata keadaannya cukup parah. Sangat parah bahkan. Kakinya patah parah, dia bilang ketika tertabrak angkot ia terlempar beberapa meter jauhnya, kakinya remuk terlindas mobil yang berlawanan arah. Ya Allah, aku bergidik membayangkan keajadiannya. Entahlah gimana keadaanya jika ia telah sembuh, apakah akan dapat berjalan dengan normal kembali.., sepertinya sih.., pastinya sih.., ah, ku hapuskan bayangan itu dari pikirku.

Tak bisa ku hilangkan raut sedih, kaget, dan tak percaya, dan takut di wajahku.

---

“Hah.., besok akan tetap akad nikah”, setengah menjerit aku tak percaya mendengar dengar yang ia sampaikan, “udah dipikirkan masak-masak tuh”, tambahku, “hehehe, bukan cuma masak akh, tapi bahkan sampe gosong nih”, katanya setengah bercanda, “eh serius nih”, ulangku lagi, “iya, udah, besok datang aja, jam sembilan di ruangan Melati A302, tempatnya sama kok ditempat dia dirawat, “ok, datang loh ya, awas lho klo ngga datang, sekalian jadi qari buat tilawahnya ya?”, dia tambahkan, “ok, insya Allah”, aku menyahut, ia tahu bahwa ketika aku berkata insya Allah, maka aku akan benar-benar mengusahakan hal tersebut.

Dengan menyebut insya Allah, maka aku bukan hanya mengadakan perjanjian dengan orang tersebut, tapi juga membawa saksi berupa Zat yang Maha Berkuasa dalam perjanjianku, hingga aku akan merasa sangat malu sekali jika tidak menyanggupi apa yang telah ku “insya Allah”i.

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): "Insya-Allah". Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini". (QS. Al-Kahfi: 23-24)

“siip, deh, assalamualaikum”, akh Radinal menutup pembicaraan, “wa’alaikumsalam”, sahutku.

Tak dapat ku percaya.., bagaimana jika diriku berada dalam posisinya, apakah aku masih akan melanjutkan proses dengan keadaannya yang seperti itu, meskipun harus ditunda beberapa tahun juga.

---

Dinding rumah sakit Pasar Rebo terlihat berwarna lebih putih dibandingkan terakhir kali aku datang. Apakah karena memang di cat, ataukan karena akan ada suasana yang besar yang kan terjadi hari ini.

Aku melangkah menuju sebuah kamar berukuran tiga kali empat meter persegi tempat Hani dirawat, kamar itu berada di di lantai tiga. Setelah keluar dari lift berwarna perak metalik, kususuri lorong berwarna coklat. Sesampainya di depan sebuah kamar dengan label bernomor A304, kuraih gagang pintu berwarna keemasan, dan mendorong pintu yang berwarna coklat dengan akses ukiran sederhana di sekelilingnya.

Weiiiks, ternyata salah kamar, orang yang sedang berbaring disana sudah tua dan laki-laki pula, huih, setelah minta maaf, ku ingat buka handphone terbaik tahun 2006 versi tabloid telpon seluler, mengarahkan kursornya ke fitur kalendar dan melihat janji yang telah ku tulis, oh, ternyata Walimahan Radinal & Hani berada di kamar A302 Rs Pasar Rebo. Kuayunkan langkahku sedikit grogi akibat kesalahan tadi.

Kali ini ku amati betul label yang tertempel di pintu kamar, A203, begitu tertulisnya. Bismillah, kali ini tidak akan salah, ku ketuk pintu tiga kali dan ku tekan gagang pintunya. Assalamualaikum, ku sampaikan salam penghormatan dan doa dalam Islam. Wajah-wajah cerah menengok kearahku, balasan doa yang lebih baik terlantun untukku. Ku salami satu persatu pria yang ada di ruangan. Mereka semua tampak bahagia.

Semerbak harum ruangan yang berbeda dari aroma rumah sakit membuai penciumanku. Warna cerah ruangan tampak berbeda, ada suasana gembira dan syahdu yang memenuhi ruangan. Cerah mentari pagi menelusup tirai jendela yang terbuka. Di sudut ruangan, jarum jam mengarah pada angka delapan dan dua belas, satu jam lebih awal, batinku.

Hani tetap tampak cantik dengan gamis putihnya, terlihat sangat putih, bersih, dan menawan. Kaki kanannya masih memakai gips yang besar, namun ia tetap berusaha menampilkan pesona wajah yang sumringah, terlihat sisa-sisa kelelahan dan kesakitan pada bekas polesan tipis make-upnya.

Jarum jam terus bergerak mengarahkan dirinya pada angka sembilan kurang lima belas, Pintu kamar diketuk beberpa kali. Radinal dan beberapa orang keluarga terdekatnya masuk, semua orang saling bersalam-salaman, wah, serasa lebaran nih, pakai baju baru dan suasananya begitu meriah. Radinal tampak kaku diapit kedua orangtuanya.

Acara akad nikah dilangsungkan di sebuah meja kecil yang ada di ruangan itu. Acara dipandu oleh MC dari pihak keluarga wanita, setelah pembukaan, dan menyampaikan maksud tujuan keluarga Radinal, pihak wanita yang diwakili oleh kakak tertua dan satu-satunya Hani yang baru saja pulang dari menyelesaikan program masternya di Belanda memberikan jawaban. Klasik gumanku dalam hati.

Acara dilanjutkan dengan tilawah, ku baca surat Ar Ruum dan mulai membacanya,

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-Ruum: 20-21)

Terkadang aku suka kaget dengan diriku sendiri, kali ini bacaanku begitu nikmat terdengar, ah.., ya Allah, ayat ini bagaikan berbicara langsung kepada diriku, sejuk dan indah.

Acara selanjutnya adalah akad nikah, pak penghulu yang memakai peci warna hitam itu memeriksa kelengkapan dokumen, menanyakan orangtua Hani beberapa pertanyaan, dan melanjutkan dengan pembacaan akad. Radinal menyalami tangan pak Azkam dengan tenang, dia bacakan ada nikahnya dengan lantang.

“Saya terima nikahnya Hani binti Azkam dengan mas kawin berupa cincin berlian 25 gram dibayar tunai”, ucapnya.

Radinal beranjak menuju tempat tidur Hani, ia mencium keningnya, dan Hani mencium tangannya. Suasana semakin bertambah syahdu, beberapa ibu-ibu yang hadir di acara sudah mulai menitikkan air mata.

Radinal bersalaman dengan orang tuanya dan mertua barunya, ia dipeluk dan dicium, Hani pun demikian ia di hampiri oleh kedua orang tuanya dan mertua barunya, ia dicium dan dipeluk, kali ini air mata para peserta akad nikah tidak dapat tertahan lagi. Semua yang hadir diacara itu meneteskan air mata. Mataku berkaca-kaca, sebentar lagi ia pun akan tumpah.

Subhanallah, memang Radinal pantas mendapatkan Hani, semoga berkah Allah selalu mengiringi langkah cinta mereka. Ku peluk Radinal dengan pelukkan yang paling hangat dan erat. Berbisik pelan ku ditelinganya, “Barakallah akh, semoga Allah melimpahkan berkah, semoga Allah menyatukan kebaikan, dan semoga engkau berdua dikumpulkan dalam kebahagiaan, dan semoga engkau berdua, dikumpulkan dalam kebahagiaan”, doa yang paling tulus dan paling ku harapkan keterkabulannya.


---

Jakarta, 1 November 2007
Syamsul Arifin
“Mengapa kau lakukan hal itu kepadaku ukhti..?”
*Cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen "Ujian Cinta" dan bersambung ke cerpen "Labuhan Hati"

4 comments:

  1. bagus cerpennya... :) menggetarkan nurani.

    ReplyDelete
  2. ini beneran kan??!! temen kita radinal n hanni kan??!! gue liat undangan mereka di posting di milis...
    Semoga Hanni cepet sembuh yah....tetap sabar, usaha dan doa ya han...

    ReplyDelete
  3. @dewme
    Halah.., ini mah cuma cerpen fiksi atuh... :)
    Saya cuma "ngebajak" nama2nya aja.

    Silakan baca postingn saya yg berjudul "kenapa menulis cerpen"
    %peace%

    ReplyDelete