30 November 2007

Apakah Memakai Cadar Itu Wajib

Pertanyaan: 
 
Saya telah membaca tulisan Ustadz  yang  membela  cadar  dan menyangkal  pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa cadar itu bid'ah, tradisi luar  yang  masuk  ke  dalam  masyarakat Islam,  dan sama sekali bukan dari ajaran Islam. Ustadz juga menjelaskan  bahwa  pendapat  yang  mewajibkan  cadar  bagi wanita itu terdapat dalam fiqih Islam. Anda bersikap moderat terhadap  persoalan  cadar   dan   wanita-wanita   bercadar, meskipun kami tahu Anda tidak mewajibkan cadar
 
Sekarang kami mengharap kepada Anda - sebagaimana Anda telah bersikap moderat mengenai wanita bercadar  ini  dari  wanita yang  suka  buka-bukaan, yang suka membuka aurat - agar Anda bersikap moderat terhadap kami yang berjilbab (tetapi  tidak bercadar)  dan  saudara-saudara kami yang bercadar, termasuk terhadap kawan-kawan mereka yang  selalu  menyerukan  cadar. Mereka   yang  dari  waktu  ke  waktu  tidak  henti-hentinya menjelek-jelekkan kami, karena  kami  tidak  menutup  wajah. Mereka beranggapan bahwa yang demikian itu mengundang fitnah karena wajah merupakan pusat  keindahan  (kecantikan).  Oleh sebab  itu,  mereka  berpendapat  bahwa kami telah menentang Al-Qur'an dan As-Sunnah serta  petunjuk  salaf  karena  kami membiarkan wajah terbuka.
 
Kadang-kadang  celaan  ini  dialamatkan kepada Anda sendiri, karena Anda membela hijab (jilbab) dan tidak membela  cadar. Demikian  pula  yang  dialamatkan  kepada Fadhilah asy-Syekh Muhammad al-Ghazali. Beberapa ulama  mengemukakan  sanggahan terhadap    beliau   melalui   beberapa   surat   kabar   di negara-negara Teluk.
 
Kami harap Anda tidak menyuruh kami  untuk  membaca  kembali tulisan  Anda  dalam  kitab al-Halal wal-Haram fil-lslam dan kitab Fatawi Mu'ashirah meskipun dalam kedua kitab  tersebut sudah  terdapat  keterangan  yang memadai. Namun, kami masih menginginkan  tambahan  penjelasan  lagi  untuk  memantapkan hujjah,  menerangi  jalan, menghilangkan udzur, menghapuskan keraguan dengan keyakinan, serta untuk menghentikan  polemik dan perdebatan yang terus berlangsung mengenai masalah ini.
 
Semoga  Allah  menjadikan  kebenaran  pada lisan dan tulisan Anda.
 
Jawaban: 
 
Tidak ada alasan bagi  saya  untuk  diam  dan  merasa  cukup dengan apa yang pernah saya tulis sebelumnya.
 
Saya   tahu   bahwa   perdebatan   mengenai  masalah-masalah khilafiyah   itu   tidak   akan   selesai   dengan    adanya makalah-makalah  dan  tulisan-tulisan  lepas,  bahkan  dalam bentuk sebuah buku (kitab) sekalipun.
 
Selama sebab-sebab perbedaan pendapat itu  masih  ada,  maka ikhtilaf   (perbedaan  pendapat)  itu  akan  senantiasa  ada diantara manusia, meskipun mereka  sama-sama  muslim,  patuh pada agamanya, dan ikhlas.
 
Bahkan  kadang-kadang komitmen dan keikhlasan terhadap agama menyebabkan   perbedaan   pendapat   itu   semakin    tajam. Masing-masing  pihak  ingin  mengunggulkan dan memberlakukan pendapat yang diyakininya benar sebagai  ajaran  agama  yang akan  diperhitungkan  dengan  mendapatkan  pahala (bagi yang melaksanakannya)  atau  mendapatkan   hukuman   (bagi   yang melanggarnya).
 
Perbedaan   pendapat   itu  akan  terus  berlangsung  selama nash-nashnya sendiri  -  yang  merupakan  sumber  penggalian hukum   -  masih  menerima  kemungkinan  perbedaan  pendapat tentang periwayatan dan petunjuknya,  selama  pemahaman  dan kemampuan   manusia   untuk   mengistimbath   (menggali  dan mengeluarkan) hukum masih berbeda-beda, dan sepanjang  masih ada   kemungkinan   untuk   mengambil   zhahir   nash   atau kandungannya,  yang  tersurat  atau  yang   tersirat,   yang rukhshah  (merupakan keringanan) ataupun yang 'azimah (hukum asal), yang lebih hati-hati atau yang lebih mudah.
 
Perbedaan pendapat akan  senantiasa  muncul  selama  manusia masih ada yang bersikap ketat seperti Ibnu Umar dan ada yang bersikap longgar seperti Ibnu  Abbas;  dan  selama  diantara mereka  masih  ada  orang  yang  menunaikan  shalat ashar di tengah jalan dan ada yang tidak menunaikannya  melainkan  di perkampungan Bani Quraizhah (setelah sampai di sana).
 
Adalah  merupakan  rahmat  Allah  bahwa  perbedaan  pendapat seperti ini tidak terlarang dan bukan  perbuatan  dosa,  dan orang  yang  keliru  dalam  berijtihad  ini dimaafkan bahkan mendapat pahala satu.  Bahkan  ada  orang  yang  mengatakan, "Tidak  ada  yang salah dalam ijtihad-ijtihad furu'iyah ini, semuanya benar."
 
Para sahabat dan orang-orang yang  mengikuti  mereka  dengan baik  juga  sering  berbeda pendapat antara yang satu dengan yang lain  mengenai  masalah-masalah  furu'  (cabang)  dalam agama, namun mereka tidak menganggap hal itu sebagai bahaya. Mereka tetap bersikap toleran, dan sebagian mereka shalat di belakang sebagian yang lain, tanpa ada yang mengingkari.
 
Dengan   menyadari   bahwa   perbedaan   pendapat  itu  akan senantiasa ada, maka saya harus menjawab pertanyaan ini, dan saya   akan  mengulangi  tema  tersebut  dengan  menambahkan penjelasan. Mudah-mudahan Allah memberi taufik  kepada  saya hingga  mampu mengungkapkan perkataan yang benar, yang dapat memutuskan  perselisihan  atau  -   minimal   -   mengurangi ketajamannya,  yang  melunakkan  kekerasannya  sehingga hati wanita yang berhijab (tetapi tidak  bercadar)  merasa  riang dan memudahkan urusan bagi yang mengumandangkan cadar (untuk memakainya).
 
MEMPERLIHATKAN MUKA DAN TANGAN MENURUT PENDAPAT JUMHUR ULAMA
 
Ingin segera saya tegaskan disini tentang suatu hakikat yang sebenarnya  sudah  tidak perlu penegasan, karena di kalangan ahli ilmu hal itu sudah terkenal dan tidak samar lagi, sudah masyhur  dan  tidak asing lagi, yaitu bahwa pendapat tentang tidak wajibnya memakai cadar serta  bolehnya  membuka  wajah dan  kedua  telapak  tangan  bagi  wanita  muslimah di depan laki-laki lain yang bukan muhrimnya adalah  pendapat  jumhur fuqaha umat semenjak zaman sahabat r.a..
 
Karena  itu  tidak  perlu  dipertengkarkan, sebagaimana yang ditimbulkan oleh sebagian yang ikhlas tetapi  tidak  berilmu
dan  oleh  sebagian  pelajar dan ilmuwan yang bersikap ketat terhadap pendapat  yang  dikemukakan  seorang  da'i  kondang Syekh   Muhammad   al-Ghazali   dalam   beberapa   buku  dan makalahnya. Mereka beranggapan  seakan-akan  beliau  membawa bid'ah  atau  pendapat  baru,  padahal  sebenarnya  apa yang beliau  kemukakan  itu  merupakan  pendapat  imam-imam  yang mu'tabar  dan  fuqaha yang andal, sebagaimana yang akan saya jelaskan kemudian. Selain itu,  apa  yang  beliau  kemukakan merupakan pendapat yang didukung oleh dalil-dalil dan atsar, disandarkan pada penalaran dan i'tibar,  dan  didukung  pula oleh realitas dalam beberapa zaman.
 
MAZHAB HANAFI
 
Dalam  kitab  al-Ikhtiyar,  salah  satu kitab Mazhab Hanafi, disebutkan: Tidak diperbolehkan melihat wanita lain  kecuali wajah dan telapak tangannya, jika tidak dikhawatirkan timbul syahwat. Dan diriwayatkan  dari  Abu  Hanifah  bahwa  beliau menambahkan  dengan  kaki, karena pada yang demikian itu ada kedaruratan untuk mengambil dan memberi serta untuk mengenal wajahnya   ketika   bermuamalah  dengan  orang  lain,  untuk menegakkan kehidupan dan kebutuhannya, karena  tidak  adanya orang yang melaksanakan sebab-sebab penghidupannya.
 
Beliau  berkata:  Sebagai  dasarnya ialah firman Allah,

"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali  apa  yang biasa tampak daripadanya." (an-Nur: 31 )

Para  sahabat  pada  umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud ayat  tersebut  ialah  celak  dan  cincin,  yaitu  tempatnya (bagian  tubuh  yang  ditempati  celak  dan cincin). Hal ini sebagaimana telah saya jelaskan  bahwa  celak,  cincin,  dan macam-macam  perhiasan itu halal dilihat oleh kerabat maupun orang  lain.  Maka  yang  dimaksud  disini   ialah   'tempat perhiasan itu,' dengan jalan membuang mudhaf dan menempatkan mudhaf ilaih pada tempatnya.
 
Beliau berkata, adapun  kaki,  maka  diriwayatkan  bahwa  ia bukanlah  aurat  secara mutlak, karena bagian ini diperlukan untuk berjalan sehingga akan tampak. Selain itu, kemungkinan timbulnya  syahwat  karena melihat muka dan tangan itu lebih besar, maka halalnya melihat kaki adalah lebih utama.
 
Dalam satu riwayat disebutkan, kaki itu adalah  aurat  untuk dipandang, bukan untuk shalat.1
 
MAZHAB MALIKI
 
Dalam  syarah  shaghir  (penjelasan ringkas) karya ad-Dardir yang berjudul Aqrabul Masalik ilaa Malik, disebutkan:
 
"Aurat wanita merdeka terhadap laki-laki asing,  yakni  yang bukan  mahramnya,  ialah  seluruh  tubuhnya selain wajah dan telapak tangan. Adapun selain itu bukanlah aurat."
 
Ash-Shawi mengomentari pendapat tersebut dalam Hasyiyah-nya, katanya,  "Maksudnya,  boleh  melihatnya,  baik  bagian luar maupun   bagian   dalam   (tangan   itu),    tanpa    maksud berlezat-lezat  dan  merasakannya,  dan  jika tidak demikian maka hukumnya haram."
 
Beliau berkata, "Apakah pada waktu itu wajib  menutup  wajah dan  kedua  tangannya?"  Itulah  pendapat  Ibnu  Marzuq yang mengatakan bahwa ini merupakan mazhab (Maliki) yang masyhur.
 
Atau, apakah wanita tidak wajib menutup wajah dan  tangannya hanya  si laki-laki yang harus menundukkan pandangannya? Ini adalah pendapat yang dinukil oleh al-Mawaq dari 'Iyadh.
 
Sedangkan Zurruq merinci dalam Syarah al-Waghlisiyah  antara wanita  yang  cantik  dan  yang  tidak,  yang  cantik  wajib menutupnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab.2
 
MAZHAB SYAFI'I
 
Asy-Syirazi, salah seorang ulama Syafi'iyah, pengarang kitab al-Muhadzdzab mengatakan:
 
"Adapun  wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat, kecuali wajah dan telapak  tangan  -  Imam  Nawawi  berkata: hingga  pergelangan  tangan  - berdasarkan firman Allah 'Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali  apa  yang biasa tampak daripadanya.' Ibnu Abbas berkata, 'Wajahnya dan kedua telapak tangannya.'
3

Disamping itu, karena Nabi saw. 'melarang wanita yang sedang ihram  mengenakan  kaos tangan dan cadar'.4 Seandainya wajah dan telapak tangan itu  aurat,  niscaya  beliau  tidak  akan mengharamkan  menutupnya.  Selain  itu, juga karena dorongan kebutuhan untuk menampakkan  wajah  pada  waktu  jual  beli, serta   perlu   menampakkan   tangan   untuk  mengambil  dan memberikan sesuatu, karena itu (wajah dan tangan) ini  tidak dianggap aurat.
 
Imam    Nawawi    menambahkan   dalam   syarahnya   terhadap al-Muhadzdzab, yaitu al-Majmu', "Diantara  ulama  Syafi'iyah ada yang menceritakan atau mengemukakan suatu pendapat bahwa telapak kaki bukanlah  aurat.  Al-Muzani  berkata,  'Telapak kaki  itu  bukan  aurat.'  Dan  pendapat  mazhab adalah yang pertama."
5
 
MAZHAB HAMBALI
 
Dalam mazhab Hambali kita  dapati  Ibnu  Qudamah  mengatakan dalam  kitabnya  al-Mughni  (1:  601) sebagai berikut: Tidak diperselisihkan dalam mazhab tentang bolehnya wanita membuka wajahnya  dalam  shalat,  dan dia tidak boleh membuka selain wajah dan  telapak  tangannya.  Sedangkan  mengenai  telapak tangan ini ada dua riwayat.
 
Para  ahli  ilmu  berbeda pendapat, tetapi kebanyakan mereka sepakat  bahwa  ia  boleh  melakukan  shalat  dengan   wajah terbuka.  Dan  mereka  juga sepakat bahwa wanita merdeka itu harus mengenakan tutup kepalanya jika melakukan shalat,  dan jika  ia  melakukan  shalat  dalam keadaan seluruh kepalanya terbuka, maka ia wajib mengulangmya.
 
Imam Abu Hanifah berkata,  "Kaki  itu  bukan  aurat,  karena kedua  kaki  itu  memang  biasanya  tampak.  Karena  itu, ia seperti wajah."
 
Imam Malik, al-Auza'i, dan Imam  Syafi'i  berkata,  "Seluruh tubuh  wanita  itu  adalah aurat kecuali muka dan tangannya, dan selain itu wajib ditutup pada waktu shalat, karena dalam menafsirkan   ayat   ,dan   janganlah   mereka   menampakkan perhiasannya kecuali apa  yang  biasa  tampak  daripadanya," Ibnu Abbas berkata, 'Yaitu wajah dan telapak tangan."
 
Selain  itu,  karena  Nabi  saw.  melarang  wanita  berihram memakai kaus tangan dan cadar. Andaikata  wajah  dan  tangan itu aurat niscaya beliau tidak akan mengharamkan menutupnya. Selain itu, karena diperlukan  membuka  wajah  dalam  urusan jual beli, begitupun kedua tangan untuk mengambil (memegang) dan memberikan sesuatu.
 
Sebagian sahabat kami berkata, "Wanita itu seluruhnya adalah aurat,  karena  diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa wanita itu aurat."  Diriwayatkan  oleh  Tirmidzi  dan  beliau  berkata, "Hadits  hasan  sahih."  Tetapi  beliau  memberinya rukhshah (keringanan) untuk membuka wajah dan tangannya  karena  jika ditutup   akan   menimbulkan  kesulitan.  Dan  diperbolehkan melihatnya pada waktu meminang karena  wajah  itu  merupakan pusat   kecantikan.   Dan  ini  adalah  pendapat  Abu  Bakar al-Harits bin Hisyam, beliau berkata, "Wanita itu seluruhnya adalah aurat hingga kukunya."
 
Demikian keterangan dalam kitab al-Mughni.
 
MAZHAB-MAZHAB LAIN
 
Dalam  menjelaskan  berbagai  pendapat ulama tentang masalah aurat, Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya al-Majmu':
 
Aurat wanita itu ialah seluruh tubuhnya  kecuali  wajah  dan telapak  tangannya. Disamping Imam Syafi'i, yang berpendapat demikian adalah Imam  Malik,  Abu  Hanifah,  al-Auza'i,  Abu Tsaur,  dan  segolongan  ulama, serta satu riwayat dari Imam Ahmad.
 
Selain itu, Imam Abu Hanifah, Tsauri, dan al-Muzani  berkata "Kedua kakinya juga bukan aurat."
 
Imam  Ahmad  berkata, "Seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajahnya saja"
6
 
Ini juga merupakan  pendapat  Daud  sebagaimana  dikemukakan dalam Nailul Authar (2: 55).
 
Adapun  Ibnu  Hazm,  maka  beliau  mengecualikan  wajah  dantelapak tangan, sebagaimana disebutkan dalam al-Muhalla, dan akan kami kemukakan alasan-alasan yang beliau berikan.
 
Ini  juga  merupakan  pendapat  jamaah  sahabat  dan tabi'in sebagaimana  yang  tampak  jelas  dalam  penafsiran   mereka terhadap  ayat  "apa  yang bisa tampak daripadanya" (an-Nur: 31).
 
DALIL-DALIL GOLONGAN YG MEMPERBOLEHKAN MEMBUKA WAJAH & TELAPAK TANGAN
 
Saya akan kemukakan beberapa dalil syar'iyah terpenting yang dijadikan dasar oleh golongan yang berpendapat  tidak  wajib memakai cadar serta boleh membuka wajah dan telapak tangan - yaitu jumhur ulama - seperti berikut ini,  dan  insya  Allah hal ini sudah memadai.
 
1. Penafsiran sahabat terhadap ayat "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya."
  
Jumhur ulama dari kalangan sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (para tabi'in) menafsirkan firman Allah dalam surat an-Nur ayat 31 ("Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya") bahwa yang dimaksud adalah "wajah dan telapak tangan, atau celak dan cincin, serta perhiasan-perhiasan yang serupa dengannya."
  
Al-Hafizh as-Suyuthi menyebutkan sejumlah besar pendapat mengenai masalah ini dalam kitabnya Ad-durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma'tsur.
  
Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Anas mengenai firman Allah "dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya," yang maksudnya adalah "celak dan cincin."
  
Sa'id bin Manshur, Ibnu Jarir, Abdullah bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. mengenai bunyi ayat tersebut dengan "celak, cincin, anting-anting, dan kalung."
  
Abdur Razaq dan Abd bin Humaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya," yaitu "pemerah kuku dan cincin."
  
Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, dan Ibnu Abi Hatim meriWayatkan dari Ibnu Abbas mengenai "apa yang biasa tampak daripadanya," yaitu "wajah, telapak tangan, dan cincin."
  
Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, dan Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya," yaitu "raut wajah dan telapak tangan."
  
Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan al-Baihaqi dalam sunan-nya, meriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa beliau pernah ditanya mengenai perhiasan yang biasa tampak itu, lalu beliau menJawab, "gelang dan cincin." Beliau mengatakan demikian sambil mengatupkan ujung lengan bajunya.
  
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ikrimah mengenai firman Allah "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya." Menurut beliau yang dimaksud adalah "wajah dan lingkar leher (antara dua tulang selangka)."
  
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Sa'id bin Jubair mengenai ayat tersebut dengan penafsiran "wajah dan telapak tangan." Ibnu Jarir juga meriwayatkan dari 'Atha mengenai ayat yang sama dengan penafsiran "kedua telapak tangan dan wajah."
  
Abdur Razaq dan Ibnu Jarir, dari Qatadah, menasirkan ayat tersebut dengan "kedua gelang, cincin, dan celak." Menurut Qatadah, "Telah sampai berita kepadaku bahwa Nabi saw. bersabda:
  
"Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir (untuk menampakkan tangannya) kecuali hingga ini, seraya beliau memegang separo lengannya."
  
Abdur Razaq dan Ibnu Jarir, dari Ibnu Juraij, yang mengutip perkataan Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud bunyi ayat "dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya" adalah "cincin dan gelang."
  
Menurut Ibnu Juraij, Aisyah pernah berkata, "Anak perempuan dari saudara laki-lakiku seibu, yaitu Abdullah bin Thufail, pernah masuk ke tempatku dengan mengenakan perhiasan. Dia masuk ke tempat Nabi saw., kemudian beliau berpaling." Lalu Aisyah berkata "Sesungguhnya dia adalah anak perempuan saudara laki-lakiku dan dia seorang pembantu." Kemudian beliau bersabda:
  
"Apabila seorang wanita telah dewasa, ia tidak boleh menampakkan selain wajahnya dan selain yang di bawah ini."
  
Seraya beliau memegang lengannya sendiri, lalu beliau biarkan antara pegangannya itu dengan telapak tangan sepanjang segenggam tangan."
7
  
Namun, dalam hal ini Ibnu Mas'ud berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas, Aisyah, dan Anas radhiyallahu 'anhum. Ibnu Mas'ud berkata, "Apa yang biasa tampak itu ialah pakaian dan jilbab."
  
Menurut pendapat saya, penafsiran Ibnu Abbas dan yang sependapat dengannya itu merupakan penafsiran yang rajih (kuat), karena pengecualian dalam ayat "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya" itu datang setelah larangan menampakkan perhiasan, yang hal ini menunjukkan semacam rukhshah (keringanan) dan pemberian kemudahan, sedangkan tampaknya selendang, jilbab, dan pakaian-pakaian luar lainnya sama sekali bukan rukhshah atau kemudahan, atau menghilangkan kesulitan, karena tampak atau terlihatnya pakaian luar itu sudah otomatis. Oleh karena itu, pendapat ini dikuatkan oleh ath-Thabari, al-Qurthubi, ar-Razi, al-Baidhawi, dan lain-lainnya, dan ini merupakan pendapat jumhur ulama.
  
Adapun al-Qurthubi menguatkan pendapat ini karena sudah lumrah wajah dan tangan itu tampak baik dalam adat maupun dalam ibadah, seperti dalam shalat dan haji. Oleh karena itu, tepatlah apabila istitsna' (pengecualian) itu kembali kepadanya.
  
Pendapat ini dimantapkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa Asma binti Abu Bakar pernah menghadap Nabi saw. dengan mengenakan pakaian yang tipis, lalu Nabi saw. berpaling seraya berkata:
  
"'Wahai Asma, apabila wanita telah mengeluarkan darah haid (sudah dewasa), maka tidak boleh tampak dari tubuhnya selain ini dan ini,' dan beliau berisyarat kepada wajah dan kedua tangannya."
  
Memang, kalau hanya hadits ini saja tidak dapat dijadikan hujjah karena kemursalannya dan kelemahan perawinya dari Aisyah, sebagaimana yang sudah dimaklumi, tetapi ia mempunyai syahid (pendukung) dari hadits Asma binti Umais sehingga kedudukannya menjadi kuat, ditambah lagi dengan praktek kaum wanita pada zaman Nabi saw. dan para sahabatnya. Oleh karena itu, pakar hadits al-Albani menghasankannya dalam kitab-kitabnya, seperti: Hijab al-Mar'ah al-Muslimah, al-Irwa', Shahih al-Jam'i ash-Shaghir, dan Takhrij al-Halal wal-Haram.
  
2. Perintah Mengulurkan Kerudung ke Dada, bukan ke Wajah Allah berfirman:

"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya  ..." (an-Nur: 31 )

 

Lafal al-khumuru adalah bentuk jamak dari kata khimaaru, yaitu tutup kepala, sedangkan lafal al-juyuubu adalah bentuk jamak dari kata jaibu, yaitu belahan dada pada baju atau lainnya. Maka wanita-wanita mukminah diperintahkan menutupkan dan mengulurkan penutup kepalanya sehingga dapat menutupi leher dan dadanya, dan jangan membiarkannya terlihat sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliah.
  
Seandainya menutup muka itu wajib, niscaya dijelaskan dengan tegas oleh ayat itu dengan memerintahkan wanita menutup wajahnya, sebagaimana dengan tegas ayat itu memerintahkan mereka menutup dadanya. Karena itu, setelah mengemukakan ayat ini Ibnu Hazm berkata, "Maka Allah Ta'ala memerintahkan mereka (kaum wanita) menutupkan kerudungnya ke dadanya, dan ini merupakan nash untuk menutup aurat, leher, dan dada, dan ini juga merupakan nash yang memperbolehkan membuka wajah, dan tidak mungkin dapat diartikan selain itu."
8
  
3. Perintah kepada Laki-laki untuk Menahan Pandangan
  
Al-Qur'an dan As-Sunnah menyuruh laki-laki menahan pandangannya. Firman Allah:

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (an-Nur: 30)

Sabda Nabi saw.:
  
"Jaminlah untukku enam perkara, niscaya aku menjamin untuk kamu surga, yaitu jujurlah bila kamu berbicara, tunaikanlah jika kamu diamanati, dan tahanlah pandanganmu ...?"
9
  
"Janganlah engkau ikuti pandangan (pertama) dengan pandangan(berikutnya), karena engkau hanya diperbolehkan melakukanpandangan pertama itu dan tidak diperbolehkan pandangan yangkedua."
10
  
"Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang telah mampu kawin, maka kawinlah, karena kawin itu lebih dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan..." (HR al-Jama'ah dari Ibnu Mas'ud)
  
Kalau seluruh wajah itu harus tertutup dan semua wanita harus memakai cadar, maka apakah arti anjuran untuk menahan pandangan? Dan apakah yang dapat dilihat oleh mata jika wajah itu tidak terbuka yang memungkinkan menarik minat dan dapat menimbulkan fitnah? Dan apa artinya bahwa kawin itu dapat lebih menundukkan pandangan jika mata tidak pernah dapat melihat sesuatu pun dari tubuh wanita?
  
4. Ayat "meskipun kecantikannya menarik hatimu"
  
Hal ini diperkuat lagi oleh firman Allah:
  
"Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu..." (al-Ahzab: 52)
  
Maka dari manakah laki-laki akan tertarik kecantikan wanita kalau tidak ada kemungkinan melihat wajah yang sudah disepakati merupakan pusat kecantikan wanita?
  
5. Hadits: "Apabila salah seorang di antara kamu melihat wanita lantas ia tertarik kepadanya."
  
Nash-nash dan fakta-fakta menunjukkan bahwa umumnya kaum wanita pada zaman Nabi saw. jarang sekali yang memakai cadar, bahkan wajah mereka biasa terbuka.
  
Diantaranya ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, dan Abu Daud dari Jabir bahwa Nabi saw. pernah melihat seorang wanita lalu beliau tertarik kepadanya, kemudian beliau mendatangi Zainab - istrinya - yang waktu itu sedang menyamak kulit, kemudian beliau melepaskan hasratnya, dan beliau bersabda:
  
"Sesungguhnya wanita itu datang dalam gambaran setan dan pergi dalam gambaran setan. Maka apabila salah seorang diantara kamu melihat seorang wanita lantas ia tertarõk kepadanya, maka hendaklah ia mendatangi istrinya, karena yang demikian itu dapat menghalangkan hasrat yang ada dalam hatinya itu." (HR Muslim)
11
  
Hadits ini juga diriwayatkan oleh ad-Darimi dari ibnu Mas'ud, tetapi istri Nabi saw. yang disebutkan di situ ialah "Saudah," dan beliau bersabda:
  
"Siapa saja yang melihat seorang wanita yang menarik hatinya, maka hendaklah ia mendatangi istrinya, karena apa yang dimiliki wanita itu ada pula pada istrinya."
  
Imam Ahmad meriwayatkan kisah itu dari hadits Abi Kabsyah al-Anmari bahwa Nabi saw. bersabda:
  
"Seorang wanita (si Fulanah) melewati saya, maka timbullah hasrat hatiku terhadap wanita itu, lalu saya datangi salah seorang istri saya, kemudian saya campuri dia. Demikianlah hendaknya yang kamu lakukan, karena diantara tindakanmu yang ideal ialah melakukan sesuatu yang halal."
12
  
Peristiwa yang menjadi sebab atau latar belakang timbulnya hadits ini menunjukkan bahwa Rasul yang mulia melihat seorang wanita tertentu, lantas timbul hasratnya terhadap wanita itu, sebagaimana layaknya manusia dan seorang laki-laki. Tentu saja, hal ini tidak mungkin terjadi tanpa melihat wajahnya, sehingga dapat dikenal si Fulanah atau si Anu. Dalam hal ini, pandangannya itulah yang menimbulkan hasratnya selaku manusia, sebagaimana sabda beliau: "Apabila salah seorang diantara kamu melihat seorang wanita lantas hatinya tertarik kepadanya ..." Maka menunjukkan bahwa hal ini mudah terjadi dan biasa terjadi.

 

 

Catatan kaki:

 

1 Al-Ikhtiyar li-Ta'lilil Mukhtar, karya Abdullah bin Mahmud bin Maudud al-Maushili al-Hanafi, 4: 156. ^
 2 Hasyiyah ash-Shawi 'alaa asy-Syarh ash-Shaghir, dengan ta'liq, Dr. Mushthafa Kamal Washfi, terbitan Darul Mawarif, Mesir, 1: 289.  ^
 3 Imam Nawawi berkata dalam al-Majmu': "Tafsir yang disebutkan dari Ibnu Abbas ini diriwayatkan oleh Baihaqi dari Ibnu Abbas dan dari Aisyah juga." `^
 4 Hadits ini tersebut dalam Shahih al-Bukhari, dari Ibnu Umar r.a. bahwa RasuluDah saw. Bersabda: "Janganlah wanita yang berihram memakai cadar dan jangan memakai kaos tangan." ^
 5 al-Majmu', 3: 167-168 ^
 6 Al-Majmu', karya Imam Nawawi. 3: 169 ^
 7 Periksa ad-Durul Mantsur oleh as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat 31 surat an-Nur. ^
 8 Al-Muhalla, 3: 279. ^
 9 Hadits Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim, dan Baihaqi dalam asy-Syu'ab dari Ubadah, dan dihasankan dalam Shahih al-Jami'ush-Shaghir, (1018). ^
10 HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Hakim dari Buraidah, dan dihasankan dalam Shahih al-Jami'ush-Shaghir (7953) ^
11 Dalam "Kitab an-Nikah"' hadits nomor 1403 ^
12 Disebutkan oleh al-Albani dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah, nomor 235. ^

 

 

 

6. Hadits: "Lalu beliau menaikkan pandangannya dan mengarahkannya."

Diantaranya lagi ialah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa'ad bahwa seorang wanita datang kepada Nabi saw. lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, saya datang hendak memberikan diri saya kepadamu." Lalu Rasulullah saw. melihatnya, lantas menaikkan pandangannya dan mengarahkannya terhadapnya, kemudian menundukkan kepalanya. Ketika wanita itu tahu bahwa Rasulullah saw. tidak berminat kepadanya, maka ia pun duduk.
  
Seandainya wanita itu tidak terbuka wajahnya, niscaya Nabi saw. tidak mungkin dapat melihat kepadanya, dan memandangnya agak lama, dengan menaikkan dan mengarahkan pandangannya (memandang ke atas dan ke bawah, dari atas sampai bawah).
  
Wanita itu berbuat demikian bukanlah untuk keperluan pinangan. Kemudian dia menutup wajahnya setelah itu, bahkan disebutkan bahwa dia lantas duduk dalam kondisi seperti pada waktu dia datang. Maka sebagian sahabat yang hadir dan melihat wanita tersebut meminta kepada Rasulullah saw. agar menikahkannya dengan wanita itu.
  
7. Hadits al-Khats'amiyah dan al-Fadhl bin Abbas
  
Imam Nasa'i meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa seorang wanita dari Khats'am meminta fatwa kepada Rasulullah saw. pada waktu haji wada' dan al-Fadhl bin Abbas pada waktu itu membonceng Rasulullah saw. Kemudian Imam Nasa'i menyebutkan kelanjutan hadits itu, "Kemudian al-Fadhl melirik wanita itu, dan ternyata dia seorang wanita yang cantik. Rasulullah saw. lantas memalingkan wajah al-Fadhl ke arah lain."
  
lbnu Hazm berkata, "Andaikata wajah itu aurat yang harus ditutup, sudah barang tentu Rasulullah saw. tidak mengakui (tidak membenarkan) wanita itu membuka wajahnya di hadapan orang banyak, dan sudah pasti beliau menyuruhnya melabuhkan pakaiannya dari atas. Dan seandainya wajahnya tertutup niscaya putra Abbas itu tidak akan tahu apakah wanita itu cantik atau jelek. Dengan demikian, secara meyakinkan benarlah apa yang kami katakan. Segala puji kepunyaan Allah dengan sebanyak-banyaknya."
  
Imam Tirmidzi meriwayatkan cerita ini dari hadits Ali r.a. yang di situ disebutkan: "Dan Nabi saw. memalingkan wajah al-Fadhl. Lalu al-Abbas bertanya, 'Wahai Rasulullah, mengapa engkau putar leher anak pamanmu?' beliau menjawab, 'Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, dan aku tidak merasa aman terhadap gangguan setan kepada mereka.'"
  
Tirmidzi berkata, "Hadits (di atas) hasan sahih."
13
  
Al-Allamah asy-Syaukani berkata:
  
"Dari hadits ini Ibnu Qudamah mengistimbath hukum akan bolehnya melihat wanita ketika aman dari fitnah, karena Nabi saw. tidak menyuruhnya menutup wajah. Seandainya al-Abbas tidak memahami bahwa memandang itu boleh, niscaya ia tidak akan bertanya, dan seandainya apa yang dipahami Abbas itu tidak boleh niscaya Nabi saw. tidak akan mengakuinya."
  
Selanjutnya beliau berkata:

"Hadits ini dapat dijadikan dalil untuk mengkhususkan ayat hijab yang disebutkan sebelumnya, yakni (yang artinya): "Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir." (al-Ahzab: 53).

Ayat tersebut khusus mengenai istri-istri Nabi saw., sebab kisah al-Fadhl itu terjadi pada waktu haji wada', sedangkan ayat hijab itu turun pada waktu pernikahan Zainab, pada tahun kelima hijrah,14 (yang berarti ayat ini lebih dulu turun daripada peristiwa al-Fadhl itu; penj.).
  
8. Hadits-hadits Lain

Diantara hadits-hadits lain yang menunjukkan hal ini ialah yang diriwayatkan dalam ash-Shahih dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: Saya hadir bersama Rasulullah saw. pada hari raya (Id), lalu beliau memulai shalat sebelum khutbah .... Kemudian beliau berjalan hingga tiba di tempat kaum wanita, lantas beliau menasihati dan mengingatkan mereka seraya bersabda: "Bersedekahlah kamu karena kebanyakan kamu adalah umpan neraka Jahanam." Lalu berdirilah seorang wanita yang baik yang kedua pipinya berwarna hitam kemerah-merahan, lalu ia bertanya, "Mengapa, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab:
  
"Karena kamu banyak mengeluh dan mengkufuri pergaulan (dengan suami)."
  
Jabir berkata, "Lalu mereka menyedekahkan perhiasan mereka, melemparkan anting-anting dan cincin mereka ke pakaian Bilal."
  
Maka, dari manakah Jabir mengetahui bahwa pipi wanita itu hitam kemerah-merahan kalau wajahnya tertutup dengan cadar?
  
Selain itu, Imam Bukhari juga meriwayatkan kisah shalat Id dari Ibnu Abbas, bahwa dia menghadiri shalat Id bersama Rasulullah saw., dan beliau berkhutbah sesudah shalat, kemudian beliau datang kepada kaum wanita bersama Bilal untuk menasihati dan mengingatkan mereka serta menyuruh mereka bersedekah. Ibnu Abbas berkata, "Maka saya lihat mereka mengulurkan tangan mereka ke bawah dan melemparkan (perhiasannya) ke pakaian Bilal."
  
Ibnu Hazm berkata, "Ibnu Abbas di sisi Rasulullah saw. melihat tangan wanita-wanita itu. Maka benarlah bahwa tangan dan wajah wanita itu bukan aurat."
15
  
Hadits itu juga diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud   dan lafal ini adalah lafal Abu Daud   dari Jabir:
  
"Bahwa Nabi saw. berdiri pada hari raya Idul Fitri, lalu beliau melakukan shalat sebelum kbutbah, kemudian beliau mengkhutbahi orang banyak. Setelah selesai kbutbah, Nabi saw. turun, lalu beliau mendatangi kaum wanita seraya mengingatkan mereka, sambil bertelekan pada tangan Bilal,' dan Bilal membentangkan pakaiannya tempat kaum wanita melemparkan sedekah." Jabir berkata "Seorang wanita melemparkan cincinnya yang besar dan tidak bermata, dan wanita-wanita lain pun melemparkann sedekahnya."
16
  
Abu Muhammad bin Hazm berkata, "Al-Fatakh ialah cincin-cincin besar yang biasa dipakai oleh kaum wanita pada jari-jari mereka seandainya mereka tidak membuka tangan-tangan mereka maka tidak mungkin mereka dapat melepas dan melemparkan cincin-cincin itu."
17
  
Diantaranya lagi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a., ia berkata, "Wanita-wanita mukminah menghadiri shalat subuh bersama Nabi saw. sambil menyelimutkan selimut mereka. Kemudian mereka pulang ke rumah masing-masing setelah selesai menunaikan shalat, sedangkan mereka tidak dikenal (satu per satu) karena hari masih gelap."
  
Mafhum riwayat ini menunjukkan bahwa wanita-wanita itu dapat dikenal jika hari tidak gelap, dan mereka itu hanya dapat dikenal apabila wajah mereka terbuka.
  
Diantaranya lagi ialah riwayat Muslim dalam Shahih-nya bahwa Subai'ah binti al-Harits menjadi istri Sa'ad bin Khaulah, salah seorang yang turut serta dalam Perang Badar. Sa'ad meninggal dunia pada waktu haji wada' ketika Subai'ah sedang hamil. Tidak lama setelah kematian Sa'ad itu dia pun melahirkan kandungannya. Maka ketika telah berhenti nifasnya, dia bersolek untuk mencari pinangan, lalu datanglah Abus Sanabil bin Ba'kuk kepadanya seraya bertanya "Mengapa aku lihat engkau bersolek, barangkali engkau ingin kawin? Demi Allah, sesungguhnya engkau belum boleh kawin, sehingga berlalu atasmu tenggang waktu selama empat bulan sepuluh hari." Subai'ah berkata, "Setelah dia berkata begitu kepadaku, maka aku kumpulkan pakaianku pada sore harinya, lalu aku datang kepada Rasulullah saw. dan aku tanyakan hal itu kepada beliau, lalu beliau memberi fatwa kepadaku bahwa aku telah halal untuk kawin lagi setelah aku melahirkan kandunganku, dan beliau menyuruhku kawin apabila sudah ada calon yang cocok untukku."
  
Hadits ini menunjukkan bahwa Subai'ah muncul dengan bersolek di hadapan Abus Sanabil, padahal Abus Sanabil itu bukan mahramnya, bahkan ia termasuk salah seorang yang melamarnya setelah itu. Seandainya wajahnya tidak terbuka, sudah tentu Abus Sanabil tidak tahu apakah dia bersolek atau tidak.
  
Dan diriwayatkan dari Ammar bin Yasir r.a. bahwa seorang laki-laki dilewati oleh seorang wanita dihadapannya, lalu dia memandangnya dengan tajam, kemudian dia melewati suatu dinding lantas wajahnya terbentur dinding, lantas dia datang kepada Rasulullah saw. sedangkan mukanya berdarah, lalu dia berkata, Wahai Rasulullah, saya telah berbuat begini dan begini." Lalu Rasulullah saw saw. bersabda:
  
"Apabila Allah menghendakõ kebaikan bagi seseorang, maka disegerakannya hukuman dosanya di dunia, dan jika Dia menghendaki yang lain untuk orang itu, maka ditunda-Nya hukuman atas dosa-dosanya sehingga dibalasnya secara penuh pada hari kiamat seakan-akan dia itu himar."
18
  
Ini menunjukkan bahwa wanita-wanita itu menampakkan atau terbuka wajahnya, dan diantaranya ada yang wajahnya menarik pandangan laki-laki sehingga yang bersangkutan terbentur dinding karena memandangnya dan berdarah mukanya.
  
9. Para Sahabat Memandang Aneh Memakai Cadar
  
Diperoleh keterangan dalam Sunnah yang menunjukkan bahwa apabila pada suatu waktu ada wanita yang memakai cadar, maka hal itu dianggap aneh, menarik perhatian, dan menimbulkan pertanyaan,
  
Abu Daud meriwayatkan dari Qais bin Syamas r.a., ia berkata, "Seorang wanita yang bernama Ummu Khalad datang kepada Nabi saw. sambil memakai cadar (penutup muka) untuk menanyakan anaknya yang terbunuh. Lalu sebagian sahabat Nabi berkata kepadanya, 'Anda datang untuk menanyakan anak Anda sambil memakai cadar?' Lalu dia menjawab, 'Jika aku telah kehilangan anakku, maka aku tidak kehilangan perasaan maluku  ..."
19
  
Jika cadar itu sudah menjadi kebiasaan pada waktu itu, maka tidak perlulah si perawi mengatakan bahwa dia datang dengan "memakai cadar," dan tidak ada artinya pula keheranan para sahabat dengan mengatakan, "Anda datang untuk menanyakan anak Anda sambil memakai cadar?"
  
Bahkan dari jawaban wanita itu menunjukkan bahwa perasaan malunyalah yang mendorongnya memakai cadar, bukan karena perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan seandainya cadar itu diwajibkan oleh syara', maka tidak mungkin ia menjawab dengan jawaban seperti itu, bahkan tidak mungkin timbul pertanyaan dari para sahabat dengan pertanyaan seperti itu, karena seorang muslim tidak akan menanyakan, "Mengapa dia melakukan shalat? Mengapa dia mengeluarkan zakat?" Dan telah ditetapkan dalam kaidah, "Apa yang sudah ada dasarnya tidak perlu ditanyakan 'illat-nya."

 

10.Tuntutan Muamalah Mengharuskan Mengenal/Mengetahui Pribadi yang Bersangkutan
  
Muamalah (pergaulan) seorang wanita dengan orang lain dalam berbagai persoalan hidup mengharuskan pribadinya dikenal oleh orang-orang yang bermuamalah dengannya, baik sebagai penjual maupun pembeli, yang mewakilkan maupun yang menjadi wakil, menjadi saksi, penggugat, ataupun tergugat. Karena itu, para fuqaha telah sepakat bahwa seorang wanita harus membuka wajahnya apabila sedang beperkara di muka pengadilan, sehingga hakim bisa mengetahui personalia saksi dan orang-orang yang beperkara. Seseorang (wanita) tidak mungkin dapat diketahui atau dikenal identitasnya jika sebelumnya wajahnya tidak dikenal oleh masyarakat. Maka tidak ada artinya bagi seorang wanita membuka wajahnya di sidang pengadilan jika sebelumnya memang tidak pernah dikenal oleh masyarakat di sekitarnya.
  
Dalil-dalil Golongan yang Mewajibkan Cadar
  
Setelah kita mengetahui dalil-dalil cemerlang dari jumhur ulama, sekarang kita coba lihat dalil-dalil golongan minoritas yang menentangnya.
   
Sebetulnya saya tidak menemukan - bagi golongan yang mewajibkan cadar dan menutup muka dan tangan - dalil syara' yang shahih tsubut (jalan periwayatannya) dan sharihdilalahnya (jelas petunjuknya) yang selamat dari sanggahan, yang sekiranya dapat melapangkan dada dan menenangkan hati.
  
Semua dalil mereka merupakan nash-nash yang mutasyabihat (samar) yang ditolak oleh nash-nash muhkamat dan bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas dan terang.
  
Berikut ini saya kemukakan beberapa dalil yang mereka anggap paling kuat berikut sanggahan saya terhadapnya.
  
A. Penafsiran sebagian ahli tafsir terhadap ayat "jilbab" yang termaktub dalam firman Allah berikut:
  
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (al-Ahzab: 59)
  
Diriwayatkan dari beberapa mufasir (ahli tafsir) salaf mengenai penafsiran "mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka" bahwa mereka menutupkan jilbab mereka ke seluruh wajah mereka, dan tidak ada yang tampak sedikit pun kecuali sebelah matanya untuk melihat.
  
Penafsiran tersebut di antaranya diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, dan Ubaidah as-Salmani. Tetapi, tidak ada kesepakatan mengenai makna "jilbab" dan "mengulurkan" dalam ayat tersebut.
  
Yang mengherankan justru dijumpai penafsiran dari Ibnu Abbas yang bertentangan dengan penafsiran tersebut ketika menafsirkan firman Allah "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya" (an-Nur: 31). Yang lebih mengherankan lagi ialah sebagian ahli tafsir berbeda-beda dalam menafsirkan surat al-Ahzab, tetapi mereka memilih penafsiran yang justru bertentangan dengan penafsiran surat an-Nur.
  
Didalam Syarah Muslim dalam mensyarah hadits Ummu Athiyah tentang shalat Id (artinya): "Salah seorang diantara kami tidak mempunyai jilbab ..." Imam Nawawi berkata: "An-Nadhr bin Syamil berkata, 'jilbab itu ialah kain (pakaian) yang lebih pendek tetapi lebih lebar daripada kerudung, yaitu tutup kepala yang dipakai wanita untuk menutup kepalanya. Ada juga yang mengatakan bahwa jilbab adalah pakaian yang luas tetapi masih dibawah selendang, yang digunakan oleh wanita untuk menutup dada dan punggungnya. Ada pula yang mengatakannya seperti selimut. Ada yang mengatakannya sarung, serta ada pula yang mengatakannya kerudung."
20
  
Tetapi bagaimanapun, sesungguhnya firman Allah "hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" tidak memastikan menutup wajah, baik dilihat dari segi bahasa maupun dari segi adat kebiasaan, dan tidak ada satu pun dalil dari Al- Qur'an As-Sunnah, maupun ijma, yang menetapkan begitu. Disamping itu pendapat sebagian ahli tafsir bahwa ayat itu memastikan menutup muka, bertentangan dengan pendapat sebagian yang lain yang mengatakan bahwa ayat itu tidak menetapkan menutup muka, sebagaimana yang dikatakan oleh pengarang Adhwa'ui Bayan rahimahullah
  
Dengan demikian, pengajuan ayat tersebut sebagai dalil untuk menetapkan kewajiban menutup wajah menjadi gugur.
  
B. Yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dalam menafsirkan firman Allah: "Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak daripadanya," bahwa apa yang biasa tampak dari perhiasan itu ialah selendang dan pakaian luar.
  
Penafsiran ini bertentangan dengan penafsiran yang sahih dari sahabat-sahabat lain seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Aisyah, Anas, dan para tabi'in bahwa yang dimaksud ialah celak dan cincin, atau bagian tubuh yang ditempati celak dan cincin, yakni wajah dan tangan. Ibnu Hazm mengemukakan bahwa ketetapan riwayat dari sahabat mengenai penafsiran ini sangat sahih.
  
Penafsiran (yang kedua) ini didukung oleh keterangan yang dikemukakan oleh Al-Allamah Ahmad bin Ahmad Asy-Syanqithi di dalam kitab Mawahibul Jalil min Adillati Khalil, beliau berkata, "Barangsiapa yang bergantung pada penafsiran Ibnu Mas'ud terhadap ayat 'kecuali yang biasa tampak daripadanya' bahwa yang dimaksud ialah selimut, maka dapat diberi jawaban: sebaik-baik perkara untuk menafsirkan Al-Qur'an adalah Al-Qur'an, dan Al-Qur'an menafsirkan zinatul mar'ah dengan al-huliyi (perhiasan). Allah SWT berfirman:
  
"... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nur: 31 )
21
  
Maka nyatalah bahwa arti zinatul mar'ah ialah perhiasan (gelang kaki dan sebagainya).
22
  
Ini diperkuat pula dengan apa yang saya katakan sebelumnya bahwa pengecualian dalam ayat tersebut dimaksudkan untuk memberi keringanan dan kemudahan. Sedangkan terlihatnya pakaian luar seperti selimut dan sebagainya itu merupakan sesuatu yang pasti terlihat, bukan rukhshah (keringanan) juga bukan pemberian kemudahan.
  
C. Apa yang dikemukakan oleh pengarang Adhwa'ul Bayan tentang berdalil dengan firman Allah mengenai istri-istri Nabi:
  
"... Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dan belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka  ..." (al-Ahzab: 53)
  
Sesungguhnya penetapan 'illat dari Allah terhadap hukum mewajibkan hijab - karena hati laki-laki dan perempuan akan lebih suci dari keragu-raguan sebagaimana tersebut dalam firman-Nya "yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka" - merupakan indikasi yang jelas yang menunjukkan tujuan hukum. Karena tidak ada seorang pun diantara kaum muslimin yang mengatakan bahwa selain istri-istri Nabi saw. tidak memerlukan kesucian hati (tidak perlu disucikan hatinya) dari keraguan/kecurigaan.
  
Namun demikian, apabila orang mau merenungkan makna dan susunan kalimat ayat tersebut niscaya akan dia dapati bahwa "kesucian yang disebutkan sebagai 'illat hukum bukanlah dari keraguan mereka (para istri Nabi saw.), sebab keraguan semacam ini jauh dari mereka yang memiliki kedudukan demikian luhur. Selain itu, tidak terbayangkan jika di hati ummahatul mu'minin serta para sahabat - yang masuk ke tempat mereka - terdapat keraguan atau kecurigaan seperti itu. Tetapi kesucian itu semata-mata dari memikirkan perkawinan yang halal yang kadang-kadang memang terlintas dalam hati salah satu pihak - sepeninggal Rasulullah saw..
  
Sedangkan argumentasi mereka dengan ayat "maka mintalah kepada mereka dari belakang tabir" tidaklah benar, karena hal ini khusus mengenai istri-istri Nabi sebagaimana yang tampak dengan jelas. Demikian juga, perkataan mereka: ("Yang dipakai ialah keumuman lafal, bukan khusus yang berkaitan dengan sebabnya") tidaklah berlaku disini, sebab lafal ayat tersebut bukan lafal umum. Begitupun halnya dengan qiyas yang mereka lakukan - yang menyamakan semua wanita dengan istri-istri Nabi-merupakan qiyas yang tertolak. Qiyas seperti itu termasuk qiyas ma'a al-faariq (qiyas yang berantakan, tidak memenuhi syarat), karena mereka (istri-istri Nabi) terkena hukum yang berat yang tidak dikenakan kepada selain mereka. Karena itu Allah berfirman:
  
"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain ..." (al-Ahzab: 32)
  
D. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda:
  
"Janganlah wanita yang sedang ihram memakai cadar dan jangan memakai kaos tangan."
23
  
Hadits tersebut, menurut mereka, menunjukkan bahwa cadar dan kaos tangan sudah terkenal di kalangan wanita yang tidak sedang ihram.
  
Saya tidak menyangkal bahwa sebagian wanita mengenakan cadar dan kaos tangan atas kemauan mereka sendiri, ketika tidak sedang melakukan ihram. Tetapi, mana dalil yang menunjukkan bahwa yang demikian itu wajib? Bahkan kalau peristiwa atau hadits ini dijadikan dalil untuk menunjukkan yang sebaliknya, maka itulah yang rasional, sebab larangan-larangan dalam ihram itu pada asalnya adalah mubah, seperti mengenakan pakaian yang berjahit, wangi-wangian, berburu, dan sebagainya. Tidak ada sesuatu pun yang asalnya wajib kemudian dilarang dalam ihram.
  
Karena itu, banyak fuqaha - sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya - yang justru berdalil dengan hadits ini untuk menetapkan bahwa wajah dan tangan itu bukan aurat; sebab kalau tidak demikian maka tidak mungkin beliau mewajibkan membukanya (pada waktu ihram).
  
E. Riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Baihaqi dari Aisyah, ia berkata:
  
"Ada beberapa orang yang menunggang kendaraan yang melewati kami ketika kami sedang berihram bersama Rasulullah saw.. Apabila mereka berpapasan dengan kami, masing-masing kami mengulurkan jilbabnya dan kepalanya ke atas wajahnya, dan apabila mereka telah melewati kami maka kami buka jilbab itu."
  
Hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah karena beberapa hal:
  
 1. Hadits ini dha'if, karena di dalam isnadnya terdapat Yazid bin Abi Ziyad, sedangkan dia menjadi pembicaraan. Sedangkan hadits dha'if tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum.
  
 2. Apa yang dilakukan Aisyah dalam hadits ini (seandainya bersanad sahih) tidak menunjukkan kepada wajib, karena perbuatan Rasul sendiri tidak menunjukkan hukum wajib, maka bagaimana lagi dengan perbuatan orang yang selain beliau?
  
 3. Kita mengenal kaidah dalam ushul: "bahwa suatu kejadian yang mengandung serba kemungkinan, maka ia adalah mujmal (global) karena itu tidak dapat dijadikan dalil."
  
Dengan demikian, kemungkinan yang terjadi disini ialah bahwa hal itu merupakan hukum khusus mengenai para ummul mu'minin (istri-istri Nabi saw.) disamping hukum-hukum khusus lainnya untuk mereka, seperti haramnya mengawini mereka sepeninggal Rasulullah saw., dan sebagainya.
24
  
F. Riwayat Imam Tirmidzi secara marfu':
  
 "Wanita itu aurat; apabila ia keluar maka ia didekati oleh setan."
25
  
Sebagian ulama Syafi'iyah dan Hanabilah menjadikan hadits ini sebagai dasar untuk menetapkan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, serta mereka tidak mengecualikan wajah, tangan, dan kaki. Sebenarnya hadits ini tidak menetapkan hukum secara menyeluruh sebagaimana yang mereka kemukakan itu, tetapi hanya menunjukkan bahwa pada dasarnya wanita itu terlindungi dan tertutup, tidak terbuka dan terhina. Dan hadits ini cukup menetapkan bahwa sebagian besar tubuh wanita itu aurat. Andaikata hadits ini hanya diambil pengertian lahiriahnya, niscaya tidak boleh membuka sedikit pun tubuhnya dalam shalat dan haji, tetapi hal ini bertentangan dengan dalil yang sahih dan meyakinkan - tentang dibukanya wajah dan tangan dalam shalat dan haji.
  
Maka, bagaimana mungkin dapat digambarkan bahwa wajah dan tangan itu aurat, padahal sudah disepakati tentang dibukanya pada waktu shalat dan wajib membukanya pada waktu ihram? Apakah masuk akal bahwa syara' memperbolehkan membuka aurat pada waktu shalat dan mewajibkan membukanya pada waktu ihram  - kalau wajah dan tangan itu termasuk aurat?
  
G. Ada dalil lain yang dipakai golongan yang mewajibkan cadar ini apabila mereka tidak mendapatkan dalil nash yang muhkamat, yaitu mereka menggunakan saddudz dzari'ah (menutup pintu kerusakan/usaha preventif) . Inilah senjata mereka yang termasyhur apabila senjata-senjata lainnya sudah tumpul.
  
Saddudz dzari'ah ini dimaksudkan untuk mencegah sesuatu yang mubah karena dikhawatirkan akan terjatuh pada yang haram. Tetapi' hal ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha, antara golongan yang melarang dan memperbolehkan (penggunan teori ini), serta antara yang memperlapang dan mempersempit. Al-Allamah Ibnul Qayyim mengemukakan sembilan alasan yang menunjukkan disyariatkannya saddudz dzari'ah ini dalam kitab beliau llam al-Muwaqqi'in.
  
Tetapi, yang sudah menjadi ketetapan para muhaqqiq dari kalangan ulama fiqih dan ushul ialah bahwa berlebih-lebihan dalam menutup "pintu/jalan" sama dengan berlebih-lebihan dalam membukanya. Berlebihan dalam membuka "jalan" akan mengakibatkan banyak kerusakan yang membahayakan manusia dalam urusan agama dan dunia mereka. Sedangkan berlebihan dalam menutup "jalan" akan menghilangkan banyak sekali kemaslahatan manusia dalam urusan kehidupan dan urusan akhirat mereka.
  
Apabila Asy-Syari' (Allah dan Rasul-Nya) telah membuka sesuatu dengan nash dan kaidah, maka kita tidak boleh menutupnya dengan pemikiran dan kekhawatiran-kekhawatiran kita, lantas kita halalkan apa yang telah diharamkan Allah atau kita membuat syariat yang tidak diizinkan Allah.
 
Kaum muslim pada zaman dulu telah bersikap sangat ketat dengan alasan "membendung pintu fitnah" (saddudz dzari'fah ila al-fitnah), lalu mereka mengharamkan wanita pergi ke  masjid. Dengan demikian, mereka telah menghalangi kaumwanita untuk mendapatkan kebaikan yang banyak, sedangkan ayah atau suaminya belum tentu dapat menggantikan apa-apa yang seharusnya mereka dapatkan dari masjid, seperti ilmu yang bermanfaat atau nasihat-nasihat yang dapat menyadarkannya. Sebagai akibatnya, banyak wanita muslimah yang hanya hidup bersenang-senang dengan tidak pernah sekali pun ruku kepada Allah. Padahal Rasulullah saw. dengan tegas mengatakan:
  
"Janganlah kamu larang hamba-hamba perempuan Allah datang ke masjid-masjid Allah." (HR Muslim)
  
Secara berkala terjadilah diskusi-diskusi di kalangan kaum muslim seputar masalah kegiatan belajar kaum wanita dan kepergiannya ke sekolah atau kampus. Yang menjadi hujjah golongan yang melarangnya ialah saddudz dzari'ah. Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahwa wanita yang berpendidikan lebih mampu membuat keterampilan dan berbagai kesibukan tulis-menulis atau surat-menyurat. Akhirnya, diskusi itu berkesudahan dengan keputusan bahwa kaum wanita boleh mempelajari semua ilmu yang bermanfaat untuk dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya, baik mengenai ilmu agama maupun ilmu dunia, dan kondisi inilah yang dominan di semua negara Islam tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya, kecuali hal-hal yang menyimpang dari adab dan hukum Islam.
  
Cukuplah bagi kita hukum-hukum dan adab-adab yang telah ditetapkan oleh syara' untuk menutup pintu kerusakan dan fitnah. Seperti kewajiban mengenakan pakaian menurut aturan syara', tidak boleh bertabarruj (membuka aurat), haramnya berduaan antara laki-laki dan perempuan, wajib bersikap serius dan sopan dalam berbicara, berjalan, dan beraktivitas, serta wajib menahan pandangan terhadap lawan jenis. Kiranya hal ini sudah cukup bagi kita sehingga tidak perlu lagi kita memikirkan larangan-larangan lain dari kita sendiri.
 
H. Diantara dalil mereka lagi: 'urf (kebiasaan) yang berlaku di kalangan kaum muslim selama beberapa abad, bahwa kaum wanita menutup wajahnya dengan selubung muka, cadar, dan sebagainya.
  
Sebagian ulama berkata: "'Urf didalam syara' mempunyai penilaian, karena itu diatasnya hukum ditegakkan."
  
Selain itu, Imam Nawawi dan lainnya telah meriwayatkan dari Imam al-Haramain - dalam berdalil tentang tidak bolehnya wanita memandang laki-laki - bahwa kaum muslim telah sepakat melarang wanita keluar rumah dengan wajah terbuka.
  
Akan tetapi, saya tolak alasan dan anggapan ini dengan beberapa alasan sebagai berikut:
  
1.Bahwa 'urf ini bertentangan dengan 'urf yang berlaku pada zaman Nabi, zaman sahabat, dan pada zaman generasi terbaik, yaitu generasi yang mengikuti jejak langkah para sahabat (yakni tabi'in).
  
2.Bahwa 'urf itu bukan 'urf umum, bahkan 'urf itu berlaku di suatu negara tetapi tidak berlaku di desa-desa dan kampung-kampung, sebagaimana yang sudah dimaklumi.
  
3.Bahwa perbuatan Nabi al-Ma'shum saw. tidak menunjukkan hukum wajib, tetapi hanya menunjukkan kebolehan dan pensyariatan sebagaimana ditetapkan dalam ushul, maka bagaimana lagi dengan perbuatan orang lain?
  
Karena itu, 'urf atau kebiasaan ini - meskipun kita terima sebagai 'urf umum sekalipun - tidak lebih hanya menunjukkan bahwa mereka menganggap bagus memakai cadar itu, sebagai sikap kehati-hatian mereka, dan tidak menunjukkan bahwa mereka mewajibkan cadar sebagai ketentuan agama.
  
4.'Urf ini bertentangan dengan 'urf atau kebiasaan yang terjadi sekarang, sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan zaman, tuntutan kebutuhan hidup, tata kehidupan masyarakat, dan perubahan kondisi kaum wanita dari kebodohan kepada keilmuan (berpengetahuan), dari kebekuan kepada pergerakan, dan dari cuma duduk di dalam rumah menuju ke aktivitas dalam berbagai lapangan yang bermacam-macam.
  
Sedangkan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan 'urf atau kebiasaan di suatu tempat dan pada suatu waktu, ia akan berubah sesuai dengan perubahannya.
 

 

Catatan kaki:

 

13 Sunan Tirmidzi, "Bab al-Haj," nomor 885 ^
14 Nailul Athar, 6: 126. ^
15 Al-Muhalla, 3: 280 ^
16 Hadits nomor 1141 dan Sunan Abi Daud, dan Imam Nasa'i juga meriwayatkan hadits ini. ^
17 Al-Muhalla 11: 221 masalah nomor 1881. ^
18 Dikemukakan oleh al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaid, 10: 192 dan beliau berkata: "Diriwayatkan oleh Thabrani dan isnadnya bagus." Dan kata al-'air di sini berarti al-himar. Sebelumnya beliau telah menyebutkan beberapa hadits yang semakna dengan itu.^
19 HR Abu Daud dalam Sunan-nya pada "Kitab al-Jihad," nomor 2488. ^
20 Shahih Muslim Syarah Nawawi, 2: 542, terbitan Asy-Sya'b. ^
21 Yakni gelang kaki dan sebagainya. ^
22 Mawahibul Jalil, 1: 148, terbitan Idarah Ihya' at-Turats al-Islami. Qathar. ^
23 Shahih al-Bukhari, 1: 316. ^
24 Mawahibul Jalil min Adiliati Kh alil 1: 185. `^
25 Imam Tirmidzi berkala: "Hadits ini hasan sahih." ^

 

 

 

SYUBHAT TERAKHIR
 
Akhirnya saya kemukakan juga  di  sini  suatu  syubhat  yang ditimbulkan  oleh  sebagian orang yang peduli terhadap agama yang  ingin  mempersempit  ruang  kebebasan   wanita,   yang ringkasnya sebagai berikut:
 
"'Kami  menerima  argumentasi  yang  Anda  kemukakan tentang disyariatkan (diperbolehkan)-nya  wanita  membuka  wajahnya, sebagaimana  kami  juga  menerima  bahwa  kaum  wanita  pada periode pertama - masa Nabi dan Khulafa ar-Rasyidin -  tidak memakai  cadar  melainkan  pada  keadaan  tertentu saja yang sedikit jumlahnya.
 
Tetapi kita harus mengerti bahwa zaman itu  merupakan  zaman yang  ideal,  akhlaknya  bersih,  rohaniahnya tinggi, wanita aman  membuka  wajahnya   tanpa   ada   seorang   pun   yang mengganggunya.  Berbeda  dengan  zaman kita dimana kerusakan sudah  merajalela,  dekadensi  moral  terjadi   dimana-mana, fitnah  menimpa  manusia  dimana-mana,  maka  tidak ada yang lebih utama bagi wanita daripada menutup wajahnya,  sehingga tidak menjadi mangsa serigala-serigala lapar yang senantiasa mengintainya di setiap penjuru."
 
Terhadap syubhat ini dapat saya  kemukakan  jawaban  sebagai berikut:
 
PERTAMA:  bahwa meskipun periode awal merupakan periode yang ideal, yang tidak ada tandingannya dalam hal kesucian akhlak dan  ketinggian  rohaninya,  tetapi  mereka  masih  termasuk periode manusia juga, yang didalamnya  ada  kelemahan,  hawa nafsu,  dan kesalahan. Karena itu di antara mereka ada orang yang berbuat zina, ada yang dijatuhi hukuman had,  ada  yang melakukan  tindakan-tindakan  yang  masih  dibawah zina, ada orang-orang yang durhaka, dan ada pula orang-orang gila  dan sinting  yang  suka  mengganggu kaum wanita dengan melakukan ulah-ulah yang menyimpang. Dan telah turun ayat (dalam surat al-Ahzab)  yang  menyuruh  wanita-wanita beriman mengulurkan jilbab ke tubuh mereka agar  mereka  dapat  dikenal  sebagai wanita-wanita  merdeka  yang  sopan  dan menjaga diri hingga tidak diganggu:

 

"... Yang demikian  itu  supaya  mereka  lebih  mudah  untuk dikenal,  karena  itu  mereka tidak diganggu ..." (Al-Ahzab: 59)

Selain itu, telah  turun  pula  beberapa  ayat  dalam  surat al-Ahzab  yang mengancam kaum durhaka dan "sinting" itu jika mereka tidak mau meninggalkan  perbuatan  mereka  yang  hina itu. Allah berfirman:

"Sesungguhnya   jika  tidak  berhenti  orang-orang  munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, d n orang- orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya  kami  perintahkan  kamu  (untuk  memerangi)  mereka kemudian   mereka  tidak  menjadi  tetanggamu  (di  Madinah) melainkan  dalam  waktu  yang   sebentar,   dialam   keadaan terlaknat. Dimana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya." (al-Ahzab: 60-61)

 

KEDUA: bahwa dalil-dalil syariah -  apabila  telah  sah  dan jelas-bersifat  umum  dan  abadi.  Ia bukan dalil untuk satu atau dua periode saja, kemudian berhenti dan tidak dijadikan dalil  lagi.  Sebab,  jika  demikian, maka syariat itu hanya bersifat temporal, tidak abadi,  dan  hal  ini  bertentangan dengan predikatnya sebagai syariat terakhir.
 
KETIGA:  kalau  kita  buka  pintu  ini,  maka kita bisa saja menasakh   (menghapus)   syariat   dengan   pikiran    kita, orang-orang  yang ketat dapat saja menasakh hukum-hukum yang mudah dan ringan dengan  alasan  wara'  dan  hati-hati,  dan orang-orang  yang  longgar  dapat  menasakh hukum-hukum yang telah baku dengan alasan perkembangan zaman dan sebagainya.
 
Yang benar, bahwa syariat adalah yang menghukumi bukan  yang dihukumi,  yang diikuti bukan yang mengikuti, dan kita wajib tunduk kepada hukum syariat, bukan hukum syariat yang tunduk kepada peraturan kita:

"Andaikata  kebenaran  itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit  dan  bumi  ini,  dan  semua  yang  ada  di dalamnya ..." (al-Mu'minun: 71 )

 

BEBERAPA PERNYATAAN YANG MENGUATKAN PENDAPAT JUMHUR
 
Saya  percaya bahwa persoalan ini telah begitu jelas setelah saya kemukakan argumentasi kedua belah  pihak,  dan  semakin jelas  bagi  kita  bahwa pendapat jumhurlah yang lebih rajih (kuat) dalilnya, lebih mantap pendapatnya, dan lebih lempang jalannya.
 
Namun demikian, perlu kiranya saya tambahkan disini beberapa pernyataan yang menambah kuatnya pendapat jumhur, dan  dapat melegakan  hati  setiap  muslimah  yang  taat  dan mengikuti pendapat ini tanpa merasa kesulitan, insya Allah.
 
PERTAMA: Tidak Ada Penugasan & Pengharaman Kecuali  dg Nash yang Sahih & Sharih
 
Bahwa pada dasarnya manusia itu terbebas dari tanggungan dan taklif (beban tugas), dan tidak ada  taklif  kecuali  dengan nash   yang   pasti.  Karena  itu,  masalah  mewajibkan  dan mengharamkan dalam ad-Din itu merupakan  suatu  urusan  yang serius,   bukan  urusan  sembarangan,  sehingga  kita  tidak mewajibkan kepada manusia apa  yang  tidak  diwajibkan  oleh Allah,   atau  kita  mengharamkan  kepada  mereka  apa  yang dihalalkan  oleh  Allah,  atau  kita  membuat  syariat  atau peraturan dalam ad-Din yang tidak diizinkan oleh Allah.
 
Karena itu, para imam salaf dahulu sangat berhati-hati dalam mengucapkan kata haram kecuali terhadap sesuatu  yang  sudah diketahui   pengharamannya  secara  pasti  sebagaimana  yang dikemukakan Imam Ibnu Taimiyah dan saya sebutkan dalam kitab saya al-Halal wal-Haram fil-Islam.
 
Disamping  itu,  pada  asalnya  segala  sesuatu  dan  segala tindakan yang merupakan adat kebiasaan  adalah  mubah.  Maka apabila    tidak    didapati   nash   yang   shahih   tsubut (periwayatannya)  dan  sharih   (jelas)   petunjuknya   yang menunjukkan   keharamannya,   tetaplah  hal  itu  pada  asal kebolehannya.  Dan  orang   yang   memperbolehkannya   tidak dituntut dalil, karena apa yang ada menurut hukum asal tidak perlu  ditanyakan  'illat-nya,  justru  yang  dituntut  agar mengemukakan dalil ialah orang yang mengharamkan.
26
 
Sedangkan  mengenai  masalah  membuka wajah dan tangan tidak saya jumpai nash yang  sahih  dan  sharih  yang  menunjukkan keharamannya. Andaikata Allah hendak mengharamkannya niscaya sudah diharamkan-Nya dengan nash yang jelas dan qath'i  yang tidak meragukan, karena Dia telah berfirman:

"...  sesunguhnya  Allah  telah  menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang  terpaksa  kamu memakannya..." (al-An'am: 119)

Sedangkan  dari apa-apa yang telah dijelaskan-Nya tidak kita dapati masalah haramnya membuka wajah  dan  telapak  tangan. Maka   tidak   perlulah  kita  mempersukar  apa  yang  telah dimudahkan Allah, sehingga kita  tidak  tergolong  ke  dalam kaum  yang disinyalir oleh Allah karena mengharamkan makanan yang halal:

"...  Katakanlah:  'Apakah  Allah  telah   memberikan   izin kepadamu   (tentang   ini)  atau  kamu  mengada-adakan  saja terhadap Allah?'" (Yunus: 59)

 

KEDUA: Perubahan Fatwa karena Perubahan Zaman
 
Diantara ketetapan yang  tidak  diperselisihkan  lagi  ialah bahwa  fatwa itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, adat kebiasaan, serta situasi dan kondisi.
 
Saya percaya bahwa zaman kita yang telah memberikan  sesuatu kepada  kaum  wanita  ini  telah  menjadikan  kita  menerima pendapat-pendapat yang mudah,  yang  menguatkan  posisi  dan kepribadian kaum wanita.
 
Sungguh,  musuh-musuh  Islam  baik dari kalangan misionaris, Marxis, orientalis, atau lainnya, telah  mengekspos  kondisi buruk  kaum  di  beberapa  negara Islam, dan menyandarkannya kepada   Islam   itu   sendiri.   Mereka    juga    berusaha menjelek-jelekkan    hukum-hukum   syariat   Islam   beserta ajarannya  mengenai  wanita,   dan   digambarkannya   dengan gambaran  yang  tidak  cocok dengan hakikat yang dibawa oleh Islam.
 
Karena itu  saya  melihat  bahwa  keunggulan  pendapat  dari sebagian  orang pada zaman kita sekarang ialah pendapat yang menyadarkan kaum wanita dan peran serta  kaum  wanita  serta kemampuannya   menunaikan   hak-hak  fitrahnya  dan  hak-hak syar'iyahnya, sebagaimana yang  telah  saya  jelaskan  dalam kitab saya al-Ijtihad fi asy-Syari'ati Islamiyyah.

 

KETIGA: Bencana Umum
 
Saya   persilakan   wanita   muslimah   yang   sedang  sibuk menjalankan dakwah agar tidak memakai  cadar,  supaya  tidak terjadi   pemisahan   antara   mereka  dengan  wanita-wanita muslimah lainnya, karena kemaslahatan  dakwah  disini  lebih penting  daripada  melaksanakan  pendapat  yang dipandangnya lebih hati-hati.
 
Diantara hal  yang  tidak  diperdebatkan  lagi  ialah  bahwa terjadinya  "bencana  umum"  (meratanya bencana) di kalangan masyarakat  ialah  disebabkan  oleh  sikap  meringankan  dan mempermudah   urusan   sebagai  yang  sudah  diketahui  oleh orang-orang yang  sibuk  menggeluti  ilmu  fiqih  dan  ushul fiqih, dan untuk ini terdapat banyak fakta dan data.
 
Dan  bencana telah merajalela pada hari ini dengan keluarnya kaum wanita ke sekolah-sekolah, kampus-kampus, tempat-tempat kerja,   rumah-rumah  sakit,  pasar-pasar,  dan  sebagainya. Mereka sudah tidak betah lagi tinggal di  rumah  sebagaimana pada  masa-masa  sebelumnya. Semua ini menuntut mereka untuk membuka  wajah  dan  tangannya  agar  memudahkan  gerak  dan pergaulan  mereka  dengan kehidupan dan makhluk hidup, dalam mengambil dan memberi, menjual  dan  membeli,  memahami  dan memberikan pemahaman.
 
Alangkah  baiknya  kalau  semua persoalan itu hanya berhenti pada yang  mubah  atau  yang  diperselisihkan  saja  seperti mengenai   membuka   wajah   dan   telapak   tangan.  Tetapi persoalannya sudah  melaju  kepada  yang  sudah  jelas-jelas haram,  seperti  membuka  bahu dan betis, kepala, leher, dan kuduk, dan wanita-wanita muslimah juga  ada  yang  melakukan bid'ah-bid'ah  Barat  (mode-mode)  itu.  Disisi  lain,  kita jumpai pula wanita-wanita muslimah  yang  berpakaian  tetapi telanjang,   yang   bergaya  dan  berlenggak-lenggok  dengan dandanan dan mode rambut  sedemikian  rupa,  persis  seperti yang  disinyalir  dalam  hadits sahih dengan sinyalemen yang sangat jitu dan tepat.
 
Bagaimana  kita  akan  bersikap  ketat  dalam  masalah  ini, sedangkan kebebasan dan kebinalan ini sudah terjadi di depan mata kita?
 
Sesungguhnya peperangan ini tidak hanya seputar  "wajah  dan telapak  tangan":  apakah boleh dibuka ataukah tidak? Tetapi peperangan yang sebenarnya ialah dengan mereka  yang  hendak menjadikan  wanita muslimah sebagai potret wanita Barat, dan hendak   melepaskan   identitasnya   dan   melucuti   ghirah islamiyahnya,  lantas  mereka keluar rumah dengan berpakaian tetapi telanjang, dengan berlenggak-lenggok miring ke  kanan dan ke kiri.
 
Karena   itu  tidak  boleh  bagi  saudara-saudara  kita  dan putri-putri  kita   yang   "bercadar"   serta   ikhwan   dan putra-putra   kita   yang   "menyerukan  cadar"  membidikkan panahnya  kepada  saudara-saudara  mereka  yang   "berhijab" (dengan  tidak  bercadar) dan ikhwan mereka "yang menyerukan hijab," yang merasa  mantap  dengan  pendapat  jumhur  umat. Tetapi   hendaklah   mereka   membidikkan   panahnya  kepada orang-orang yang menyerukan budaya  buka-bukaan,  telanjang, dan melepaskan adab Islam.
 
Sesungguhnya  wanita  muslimah  yang mengenakan hijab syar'i itu   sendiri   sering   berperang   (berjuang)   menghadapi lingkungannya,   keluarganya,   dan  masyarakatnya  sehingga mereka dapat melaksanakan perintah  Allah  untuk  mengenakan hijab,  maka  bagaimanakah  kita  akan mengatakan kepadanya: "Sesungguhnya Anda melakukan dosa dan maksiat,  karena  Anda tidak memakai cadar"?
 
KEEMPAT: Masyaqqah (Kesulitan) Mendatangkan Kemudahan
 
Sesungguhnya  mewajibkan  wanita muslimah - lebih-lebih pada zaman kita sekarang ini - untuk menutup wajah dan  tangannya berarti memberikan kesulitan dan kesukaran serta kemelaratan kepada  mereka.  Padahal  Allah  Ta'ala   telah   meniadakan kesulitan,  kesukaran,  dan  kemelaratan  dalam melaksanakan agama-Nya, bahkan ditegakkan-Nya agama-Nya itu diatas  dasar kelapangan,  kemudahan, keringanan, dan rahmat kasih sayang. Allah berfirrnan:

"... dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan ..."
(al-Hajj: 78)

 
"...   Allah   menghendaki   kemudahan   bagimu   dan  tidak menghendaki kesukaran bagimu..."

(al-Baqarah: 185)

 
"...Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah."

(an-Nisa': 28)

Rasulullah saw. bersabda:
 
"Aku  diutus  dengan  membawa  agama  yang lembut dan lapang (toleran). ,' (HR Imam Ahmad dalam Musnadnya)
 
Maksudnya,  lurus   dalam   aqidahnya   dan   lapang   dalam hukum-hukumnya.
 
Sedangkan  para  fuqaha  telah  menetapkan  dalam kaidahnya: "Kesukaran itu menarik kemudahan."
 
Nabi saw. telah menyuruh kita untuk memberikan kemudahan dan jangan  memberikan  kesukaran,  memberikan  kegembiraan  dan jangan menjadikan orang lari. Kita ditampilkan untuk memberi kemudahan bukan untuk memberi kesulitan.
 
BEBERAPA PERINGATAN:
 
Ada  beberapa  peringatan  penting  yang  perlu  dikemukakan disini untuk kita perhatikan:
 
1. Bahwa membuka wajah disini tidak dimaksudkan agar si wanita memolesnya dengan bermacam-macam bedak dan parfum yang berwarna-warni. Begitupun membuka tangan disini tidak dimaksudkan agar mereka memanjangkan kukunya dan mengecatnya dengan apa yang mereka namakan manukir. Tetapi hendaklah diakeluar dengan sopan, tidak bersolek dan ber-make-upwarna-warni, dan tidak tabarruj (menampakkan aurat,berpakaian mini, atau berpakaian yang tipis, atau yang membentuk lekuk tubuh). Semua yang diperbolehkan disiniadalah perhiasan yang ringan-ringan, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan lainnya, yaitu celak dimata dan cincin di jari.
  
2. Pendapat yang mengatakan tidak wajib bercadar tidak berarti mereka berpendapat bahwa memakai cadar itu tidak boleh. Maka barangsiapa diantara kaum wanita yang ingin memakai cadar, tidak ada larangan, bahkan hal yang demikian terkadang disukai - menurut pandangan sebagian orang yang cenderung bersikap hati-hati, apabila wanita itu cantik yang dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah, lebih-lebih jika memakai cadar itu tidak menyulitkannya dan tidak menimbulkan pergunjingan orang banyak. Bahkan banyak ulama yang mengatakannya wajib jika kondisinya demikian (bisa menimbulkan fitnah). Tetapi saya tidak menemukan dalil yang mewajibkan menutup wajah ketika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Sebab ini merupakan masalah yang tidak ada ukurannya, dan kecantikan itu sendiri sifatnya relatif, ada wanita yang oleh sebagian orang dianggap sangat cantik, tetapi oleh sebagian yang lain dianggap biasa-biasa saja, dan oleh yang lain lagi dianggap tidak cantik.
  
Beberapa penulis bahkan mengemukakan, hendaklah wanita menutup wajahnya apabila ada laki-laki ingin berlezat-lezat memandangnya atau mengkhayalkannya. Namun masalahnya, dari mana wanita tersebut mengetahui bahwa ada laki-laki ingin berlezat-lezat dengannya atau mengkhayalkannya (sehingga ia wajib menutup mukanya)?
  
Oleh karena itu, yang lebih utama daripada menutup muka ialah hendaknya wanita tersebut menjauhi lapangan yang bisa menimbulkan fitnah, jika ia menaruh perhatian terhadap masalah itu.
  
3. Bahwa tidak ada kaitan antara membuka wajah dengan kebolehan melihatnya. Maka diantara ulama ada yang memperbolehkan membuka wajah tetapi tidak memperbolehkan melihatnya, kecuali pada pandangan pertama yang selintas. Ada pula yang memperbolehkan melihat apa yang diperbolehkan melihatnya itu, apabila tidak disertai dengan syahwat; jika disertai dengan syahwat atau dimaksudkan untuk membangkitkan syahwat, maka haram melihatnya, dan pendapat inilah yang saya pilih.
  
Allah-lah yang memberi pertolongan dan petunjuk ke jalan yang lurus.
 


Catatan kaki:


26 Berbeda dengan masalah ibadah yang pada asalnya tidak boleh (haram/batil) sehingga ada dalil yang memerintahkannya. Maka orang yang tidak memperbolehkan melakukan suatu bentuk ibadah tidak dituntut dalilnya, tetapi yang dituntut mengemukakan dalil ialah orang yang mendakwakan adanya ibadah tersebut. (Penj.) ^

 

 

 

Sumber: Fatwa-fatwa Kontemporer, Dr. Yusuf Al-Qardhawi

E-Book bisa di download di: http://www.pakdenono.com/

2 comments:

  1. Udah baca bukunya juga, makanya jadi PD klo ada pertanyaan ttg cadar. Makasih udah mostingin lagi sini, jadi nggak perlu ngambil buku lagi klo perlu tinggal mampir ke Mas Ipin yah?

    ReplyDelete
  2. oooh, dah pernah baca toh bukunya :)
    klo mau cek yang versi onlinenya, kunjungi aja link berikut:
    http://media.isnet.org/v01/islam/Qardhawi/toc.html
    disana ada beberapa versi online buku2 beliau, mungkin akan jauh lebih lengkap ^-^

    ReplyDelete