30 November 2007

[Wanita dalam Masyarakat Islam] Wanita sebagai Manusia

Islam datang, sementara kebanyakan manusia mengingkari kemanusiaan wanita dan sebagian yang lain meragukannya. Ada pula yang mengakui akan kemanusiaannya, tetapi mereka menganggap wanita itu sebagai makhluk yang diciptakan semata-mata untuk melayani kaum laki-laki.

 

Maka merupakan 'izzah dan kemuliaan Islam, karena dia telah memuliakan wanita dan menegaskan eksistensi kemanusiaannya serta kelayakannya untuk menerima taklif (tugas) dan tanggung jawab, pembalasan, dan berhak pula masuk surga. Islam menghargai wanita sebagai manusia yang terhormat. Sebagaimana kaum laki-laki, wanita juga mempunyai hak-hak kemanusiaan, karena keduanya berasal dari satu pohon dan keduanya merupakan dua bersaudara yang dilahirkan oleh satu ayah (bapak) yaitu Adam, dan satu ibu yaitu Hawwa.

 

Keduanya berasal dari satu keturunan dan sama dalam karakter kemanusiaannya secara umum. Keduanya adalah sama dalam hal beban dan tanggung jawab, dan di akherat kelak akan sama-sama menerima pembalasan. Demikian itu digambarkan oleh Al Qur'anul Karim sebagai berikut:

 

"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinnya; dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (An-Nisa': 1)

 

Jika seluruh manusia baik laki-laki maupun perempuan itu diciptakan oleh Rabb mereka dari jiwa yang satu (Adam), dan dari jiwa yang satu itu Allah menciptakan isterinya agar keduanya saling menyempurnakan-- sebagaimana dijelaskan oleh Al Qur'an--kemudian dari satu keluarga itu Allah mengembangbiakkan laki-laki dan wanita yang banyak, yang kesemuanya adalah hamba-hamba bagi Tuhan yang Esa, dan merupakan anak-anak dari satu bapak dan satu ibu, maka persaudaraanlah yang semestinya menyatukan mereka.

 

Oleh karena itu Al Qur'an memerintahkan kepada manusia untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah dan memelihara hubungan kasih sayang antara mereka. Firman Allah:

 

." .. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim." (An-Nisa': 1)

 

Dengan penjelasan Al Qur'an, ini maka laki-laki adalah saudara perempuan dan perempuan adalah saudara kandung laki-laki. Rasulullah SAW bersabda:

 

"Sesungguhnya tiada lain wanita adalah saudara sekandung kaum pria." (HR. Ahmad, Abu Dawad dan Thnõidzi)

 

Tentang persamaan antara wanita dan pria di dalam kebebasan kewajiban beragama dan beribadah, Al Qur'an mengatakan sebagai berikut:

 

"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki danperempuan yang khusyu ', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatanrya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar." (Al Ahzab: 35)

 

Di dalam masalah takalif (kewajiban-kewajiban) agama dan sosial yang pokok, Al Qur'an menyamakan antara keduanya, sebagaimana firman Allah SWT:

 

"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (At Taubah: 71)

 

Di dalam kisah Adam, kewajiban Ilahi itu ditujukan kepadanya dan isterinya secara sama. Allah SWT berfirman:

 

"Hai Adam, diamilah olehmu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zhalim." (Al Baqarah: 35)

 

Tetapi yang terasa aktual di dalam kisah ini sebagaimana disebutkan oleh Al Qur'an, bahwa kesesatan itu ditujukan kepada syetan, bukan kepada Hawwa.

 

"Lalu keduanya digelincirkan oleh syetan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula...." (Al Baqarah: 36)

 

Bukan semata-mata Hawwa yang memakan buah pohon itu, bukan dia yang memulai, tetapi kesalahan itu dari Adam dan Hawwa secara sama-sama, sebagaimana penyesalan dan taubat itu dilakukan oleh keduanya:

 

Keduanya berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, maka pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." (Al A'raf:23)

 

Bahkan di dalam ayat lain, kesalahan itu disandarkan kepada Adam saja:

 

"Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat." (Thaha: 115)

 

"Kemudian syetan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam), dengan berkata, "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa." (Thaha: 120)

 

"Dan durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah ia." (Thaha: 121)

 

"Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk." (Thaha: 122)

 

Ini semua membuktikan bahwa Adamlah yang berbuat maksiat, sedangkan isterinya sekedar mengikut.

 

Bagaimanapun keadaannya, maka kesalahan Hawwa hanya dia yang menanggung, sedangkan anak turunnya terlepas dari perbuatan itu dan dari dosanya. Karena dosa seseorang tidak bisa ditimpakan kepada orang lain. Allah SWT berfirman:

 

"Itu adalah ummat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan." (Al Baqarah1:134,141)

 

Wanita dengan laki-laki adalah sama dalam hal bahwa keduanya akan menerima pembalasan dari kebaikan mereka dan masuk surga. Allah SWT berfirman:

 

"Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan. (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain ...." (Ali 'Imran: 195)

 

Dari ayat ini jelas sekali bahwa amal perbuatan seseorang itu tidak akan sia-sia di sisi Allah SWT, baik laki-laki maupun wanita. Keduanya adalah berasal dari tanah yang satu dan dari tabiat yang satu. Allah SWT juga berfirman:

 

"Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keaanan beriman, maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl: 97)

 

"Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shalih, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun." (An-Nisa': 124)

 

Tentang hak-hak harta bagi wanita, Islam telah membatalkan tradisi yang sering berlaku di kalangan masyarakat di dunia, baik orang-orang Arab atau 'ajam yaitu meniadakan hak milik dan hak pewarisan bagi kaum wanita atau mempersempit bagi mereka untuk mempergunakan apa yang mereka miliki. Juga sikap monopoli para suami terhadap harta isterinya. Maka Islam menetapkan hak milik bagi kaum wanita dengan berbagai jenis dan cabangnya sekaligus hak untuk mempergunakannya. Maka ditetapkan hukum wasiat dan hukum waris bagi kaum wanita seperti halnya bagi kaum pria. Islam juga memberikan kepada kaum wanita hak jual beli, persewaan, hibah (pemberian), pinjaman, waqaf, sedekah, kafalah, hawalah, gadai dan hak-hak yang lainnya.

 

Termasuk hak-hak itu adalah hak mempertahankan hartanya dan membela dirinya, dengan mengadukan kepada hukum, dalam berbagai aktifitas yang diperbolehkan.

 

 

BEBERAPA TUDUHAN YANG TERTOLAK

 

Di sini ada beberapa tuduhan kepada Islam yang disampaikan oleh sebagian orang dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

 

Apabila Islam itu telah memperhitungkan kemanusiaan kaum wanita itu sama dengan kemanusiaan kaum pria, lantas mengapa Islam masih melebihkan kaum laki-laki atas wanita di dalam beberapa masalah, seperti dalam persaksian, hukum waris, kepemimpinan rumah tangga dan sebagian hukum-hukum cabang yang lainnya?

 

Sebenarnya perbedaan kaum laki-laki dengan kaum wanita di dalam hukum tersebut bukan karena jenis laki-laki itu lebih mulia menurut Allah dan lebih dekat dengan-Nya daripada jenis wanita. Karena sesungguhnya manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa, baik laki-laki atau perempuan. Akan tetapi perbedaan itu disebabkan karena pembagian secara fungsional sesuai dengan fithrah yang sehat bagi masing-masing dari laki-laki dan wanita, sebagaimana yang akan kita jelaskan sebagai berikut. 

 

SYAHADAH (PERSAKSIAN)

 

Di dalam Al Qur'an, ayat tentang hutang piutang, yang Allah SWT perintahkan kepada kita agar mencatat hutang untuk lebih berhati-hati, Allah SWT berfirman:

 

"Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dan orang laki-laki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya, janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil ...." (Al Baqarah: 283)

 

Dengan demikian, maka Al Qur'an telah menjadikan persaksian laki-laki sama dengan persaksian dua perempuan, sebagaimana juga ketetapan para fuqaha' bahwa persaksian kaum wanita itu tidak diterima di dalam had dan qishash.

 

Alhamdulillah, perbedaan ini bukanlah karena mengurangi bobot kemanusiaan wanita atau mengurangi kemuliaannya, akan tetapi disebabkan karena fithrah dan karakternya yang mengharuskan demikian. Biasanya wanita itu tidak bisa disibukkan dengan urusan harta dan muamalah pemerintahan. Akan tetapi mereka lebih cenderung dan cocok dengan urusan kewanitaan seperti urusan rumah tangga dan mendidik anak-anak sebagai seorang ibu dan istri bagi suaminya. Atau disibukkan dengan aktifitas mempersiapkan diri untuk menikah jika ia seorang yang masih gadis. Karena itu maka kemampuan penalaran mereka terbatas dalam memikirkan urusan-urusan muamalah.

 

Oleh karena itu Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang melakukan hutang piutang apabila ingin meyakinkan perjanjiannya, agar disaksikan oleh dua orang lelaki atau satu lelaki dengan dua wanita. Al Qur'an mengingatkan alasan dari ketetapan itu, yaitu apabila yang satu lupa, maka yang lain mengingatkan.

 

Sebagaimana juga pendapat mayoritas fuqaha' yang tidak menganggap sah kesaksian wanita di dalam masalah hudud dan qishash, hal itu untuk rnenjauhkan wanita dari interaksi dengan kekerasan dan kriminalitas serta permusuhan terhadap jiwa, harta dan kehormatan. Selain itu jika wanita ikut menyaksikan kriminalitas seringkali memejamkan kedua matanya dan lari sambil menjerit sehingga sulit untuk menjelaskan kriminalitas tersebut secara detail dan nyata. Hal ini disebabkan perasaannya tidak kuat untuk menahan dalam kondisi seperti itu.

 

Para fuqaha' berpendapat, bahwa boleh kita menjadikan wanita sebagai saksi -walaupun seorang diri- dalam hal-hal yang khusus menyangkut dunia kewanitaan, seperti menyusui, keperawanan, janda, haidh, dan kelahiran anak, atau yang lain-lainnya yang khusus diketahui oleh kaum wanita.

 

Betapapun hukum ini belum menjadi kesepakatan para ulama, Madzhab 'Atha' dari kalangan Tabi'in telah mengambil kesaksian wanita.

 

Sebagian ulama fiqih berpendapat bolehnya kita mengambil kesaksian wanita di dalam hukum pidana di masyarakat yang di sana tidak ada kaum pria. Seperti di kolam renang khusus wanita, rias penganten (salon), dan lainnya yang mana biasanya dikhususkan untuk kaum wanita saja. Misalnya jika ada salah seorang wanita yang menyakiti wanita lainnya, atau bahkan pembunuhan, kemudian hal itu disaksikan oleh beberapa saksi dari kaum wanita itu sendiri, maka apakah persaksian mereka itu ditiadakan sekedar karena mereka kaum wanita? Ataukah harus disaksikan oleh kaum pria, sementara kasus itu berada di suatu tempat yang tidak dihadiri oleh kaum pria? Maka yang benar adalah bahwa persaksian mereka kaum wanita itu dianggap sah, selama mereka itu adil, teliti dan faham.

 

HUKUM WARIS

 

Adapun perbedaan di dalam masalah waris antara laki-laki dan wanita, maka yang jelas ini akibat dari perbedaan antara keduanya dalam beban dan kewajiban yang berkaitan dengan harta, yang secara syar'i diwajibkan atas masing-masing dari keduanya.

 

Kalau seandainya ada seorang ayah meninggal, dan ia meninggalkan satu anak laki-laki dan satu anak perempuan, maka ketika anak laki-laki itu ingin menikah ia harus memberi mahar (maskawin). Ketika sudah menikah, ia wajib menanggung nafkah isterinya. Tetapi jika anak perempuan itu yang menikah, maka ia berhak mengambil maskawin. Kemudian setelah menikah, suaminya yang memberikan nafkah kepadanya dan ia tidak dibebani sepeser pun, meski dia tergolong orang yang kaya.

 

Jika seorang ayah meninggalkan untuk kedua anaknya seratus lima puIuh ribu (150.000) umpamanya, maka anak lelakinya mengambil dari harta itu seratus ribu (100.000), sedangkan anak perempuannya mengambil lima puluh ribu (50.000). Tetapi ketika anak lelakinya itu ingin menikah, ia harus memberi maskawin dan hadiah-hadiah lainnya yang kita perkirakan kurang lebih dua puIuh lima ribu (25.000), sehingga uangnya tinggal tujuh puluh lima ribu (75.000). Sementara jika saudara perempuannya menikah ia menerima maskawin dan hadiah yang kita perkirakan seperti yang diberikan oleh saudara laki-lakinya kepada istrinya. Di sini uangnya bertambah menjadi tujuh puluh lima ribu (75.000), sehingga menjadi sama.

 

DlYAT

 

Adapun diyat atau denda, maka tidak ada hadits yang disepakati shahihnya, tidak pula ada ijma' yang meyakinkan. Bahkan Ibnu 'Aliyah dan Al Asham (dari fuqaha' salaf) berpendapat disamakan antara laki-laki dan perempuan di dalam masalah denda. Pendapat inilah yang sesuai dengan umumnya nash-nash Al Qur'an dan hadits-hadits Nabi yang shahih. Sehingga kalau sekarang ada yang berpendapat seperti ini maka tidak berdosa baginya, karena fatwa itu dapat berubah dengan perubahan zaman dan tempat. Apalagi kalau itu sejalan dengan nash-nash juz'iyah dan tujuan secara umum.

 

KEPEMIMPINAN RUMAH TANGGA

 

Adapun masalah kepemimpinan rumah tangga, maka Allah menjelaskan di dalam Al Qur'an karena dua alasan sebagai berikut:

 

1. Telah dilebihkan oleh Allah untuk kaum laki-laki berupa mengetahui akibat-akibat dan melihat masalah dengan akal lebih banyak daripada wanita. Sedang wanita dipersiapkan oleh Allah memiliki perasaan yang sensitif untuk mendukung tugas keibuannya.

 

2. Sesungguhnya laki-laki telah dibebani untuk memberikan nafkah guna membangun rumah tangganya. Maka kalau rumah tangga itu sampai roboh (berantakan), akan berantakan pula dari dasarnya. Karena itu seorang lelaki berfikir seribu kali sebelum bercerai.

 

TUGAS-TUGAS HUKUM DAN POLITIK

 

Masalah jabatan peradilan (hukum) dan politik, Abu Hanifah memperbolehkan bagi kaum wanita untuk menempati jabatan hukum sepanjang diperbolehkan memberikan kesaksian di situ, maksudnya selain masalah-masalah kriminalitas. Sedang Imam Ath-Thabari dan Ibnu Hazm juga memperbolehkan wanita menempati jabatan dalam masalah harta dan lembaga yang menangani masalah kriminalitas dan lainnya.

 

Diperbolehkannya hal itu bukan berarti wajib dan harus, tetapi dilihat dari sisi kemaslahatan bagi wanita itu seridin dan kemaslahatan bagi usrah (keluarga), kemaslahatan masyarakat, serta kemaslahatan Islam. Karena boleh jadi hal itu dapat berakibat dipilihnya sebagian wanita tertentu pada usia tertentu, untuk memutuskan masalah-masalah tertentu dan pada kondisi-kondisi tertentu.

 

Adapun dilarangnya wanita untuk menjadi presiden atau sejenisnya, karena potensi wanita biasanya tidak tahan untuk menghadapi konfrontasi yang mengandung resiko besar. Kita katakan tertentu, karena terkadang ada seorang wanita yang lebih mampu daripada laki-laki, seperti Ratu Saba' yang telah diceritakan olah Al Qur'an kepada kita. Tetapi hukum tidak bisa berdasarkan asas yang langka, melainkan harus berdasarkan apa yang banyak berlaku. Karena itu ulama mengatakan, "Sesuatu yang langka itu tidak bisa menjadi landasan hukum."

 

Adapun wanita sebagai direktur, dekan, ketua yayasan, anggota majlis perwakilan rakyat atau yang lainnya, maka tidak mengapa selama memang diperlukan. Masalah ini telah saya bahas secara rinci berikut dalil-dalilnya di dalam kitab saya "Fataawa Mu'aashirah" juz dua.

 

 

Sumber: DR. Yusuf Al-Qardhawi. Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah. Cetakan Pertama Januari 1997 Citra Islami Press

2 comments:

  1. Assalamu'alaikum
    izin... saya kopi... syukran

    ReplyDelete
  2. Wa'alaikum salam
    Silakan, saya teh...

    *lho, ini nyebutin nama2 minuman atau apa ya :D hehehe

    Maaf just kidding, silakan mba :)
    Semoga bermanfaat ^-^

    ReplyDelete